Jejak Kolonial dan Pembentukan Bahasa Indonesia: Perang Tak Kasat Mata
Jejak Kolonial dan Pembentukan Bahasa Indonesia: Perang Tak Kasat Mata
Kolonialisme Belanda di Nusantara bukan hanya berperang dengan senjata; mereka juga melancarkan perang tak kasat mata di medan budaya dan pengetahuan. Salah satu strategi utamanya adalah "merapikan" pengetahuan lokal melalui filter logika Eropa. Contoh nyatanya adalah babat Tanah Jawi, sebuah naskah yang ditulis ulang oleh Mainsma agar lebih sesuai dengan cara pikir kolonial. Naskah ini dibuat lebih koheren—mudah diikuti oleh logika Eropa—dan menyaring konten yang dianggap pantas bagi orang pribumi.
Strategi ini menunjukkan betapa seriusnya Belanda dalam mendesain sistem pengetahuan yang terstruktur untuk mendukung kolonialisme. Mereka melatih pejabat kolonial untuk menguasai bahasa-bahasa lokal, bahkan membuat kamus-kamus awal untuk mempermudah kontrol terhadap masyarakat. Di sinilah muncul isu "translatability"—kemampuan untuk menerjemahkan cara pikir lokal ke dalam kerangka kolonial. Contohnya adalah hukum adat yang disusun oleh van Vollenhoven, yang membagi wilayah Nusantara ke dalam satuan-satuan hukum adat berdasarkan perspektif kolonial, membentuk batas-batas sosial yang terus diwarisi hingga kini.
Bahasa Sebagai Medan Artikulasi Pikiran
Seperti yang pernah diungkapkan Noam Chomsky, bahasa bukan semata-mata alat komunikasi, melainkan medan artikulasi pikiran. Dalam konteks kolonial, penguasaan bahasa berarti penguasaan atas alam pikiran. Maka tidak mengherankan jika Belanda mempelajari bahasa lokal untuk mendominasi alam pikiran masyarakat pribumi. Sebaliknya, bahasa Indonesia yang berkembang menjadi bahasa persatuan menjadi alat artikulasi ide-ide kemerdekaan dan keadilan.
Lahirnya Bahasa Indonesia dari Proyek Sastra dan Perjuangan
Sejak akhir abad ke-19, proyek sastra mulai memainkan peran penting dalam menyebarkan ide-ide persatuan dan kemerdekaan. Dari Tirta Adesuryo hingga Mas Marco, para penulis menggunakan novel sebagai medium untuk menyuarakan pemikiran politis. Proyek ini berlanjut hingga dekade awal abad ke-20 dengan perkembangan surat kabar yang luar biasa pesat. Kota-kota kecil, yang bahkan saat ini tidak memiliki media cetak lokal, pada masa itu memiliki 2-3 surat kabar. Fenomena ini disebut Ben Anderson dalam "Imagined Communities" sebagai kapitalisme cetak, yang menjadi pondasi dalam membayangkan komunitas bangsa.
Surat kabar menjadi wadah untuk mempercepat persebaran gagasan, membentuk kesadaran kolektif, dan membangun imajinasi tentang sebuah bangsa yang bersatu. Pada akhirnya, perjuangan melawan dominasi kolonial di ranah bahasa dan budaya menjadi bagian dari pertarungan politik yang lebih besar. Proyek kolonial yang awalnya bertujuan merapikan sistem pengetahuan pribumi justru menjadi salah satu pemicu munculnya kesadaran nasional yang berujung pada kemerdekaan.
Penutup
Proyek kolonial di Nusantara tidak hanya soal penguasaan teritorial, tetapi juga penguasaan atas pikiran dan budaya. Namun, masyarakat Nusantara berhasil memanfaatkan alat-alat kolonial, seperti bahasa dan media cetak, untuk membalik keadaan dan membangun identitas nasional. Bahasa Indonesia lahir dari proses panjang ini, menjadi simbol persatuan dan perjuangan yang membebaskan bangsa dari belenggu kolonialisme. Proses ini adalah pengingat betapa pentingnya bahasa sebagai alat perlawanan dan artikulasi ide-ide besar.
Komentar
Posting Komentar