Mengungkap Warisan Keilmuan dan Kebudayaan dari Ambonese Herbal ke Bahasa Melayu Modern - Chronicles Best of 2024

Linius, Rumpius, dan Ambonese Herbal

Saat kita membaca sejarah ilmu pengetahuan, nama-nama besar seperti Carl Linnaeus sering disebut sebagai pelopor dalam taksonomi biologi. Namun, jarang yang mengetahui bahwa karya Linnaeus banyak dipengaruhi oleh pekerjaan sebelumnya, termasuk karya besar dari Georg Eberhard Rumpf, atau yang lebih dikenal sebagai Rumpius. Salah satu kontribusi monumental Rumpius adalah buku Ambonese Herbal, yang selesai ditulis pada tahun 1697. Sayangnya, buku ini baru diterbitkan pada 1741, hampir setengah abad setelah manuskripnya selesai. Penundaan ini sebagian besar disebabkan oleh kebijakan VOC yang melarang penerbitannya karena khawatir akan eksploitasi kekayaan alam yang tercatat di dalamnya.

Manuskrip Ambonese Herbal sempat berada di tangan Johannes Burman, seorang ilmuwan Belanda yang akhirnya menerbitkannya. Linnaeus, yang tinggal di rumah Burman saat pindah ke Belanda, memiliki akses langsung ke manuskrip ini. Dengan demikian, Ambonese Herbal tidak hanya menjadi referensi penting bagi penelitian Linnaeus, tetapi juga mengungkapkan kekayaan flora dan pengetahuan lokal Indonesia, khususnya Ambon.

Menulis sebagai Fondasi Ilmu Pengetahuan

Tradisi ilmiah barat sangat erat kaitannya dengan budaya menulis. Penulisan dianggap sebagai metode untuk melestarikan pengetahuan, memastikan keberlanjutan informasi, dan mengurangi distorsi yang sering terjadi dalam budaya verbal. Buku Ambonese Herbal menjadi bukti nyata bagaimana tradisi menulis bisa mendokumentasikan local wisdom masyarakat Ambon, termasuk deskripsi rinci tanaman, manfaatnya, dan cara penggunaannya oleh penduduk lokal. Sayangnya, budaya menulis seperti ini tidak banyak ditemukan di Indonesia kala itu, menjadikan karya Rumpius sangat bernilai sebagai dokumentasi awal.

Indonesia sendiri pernah menjadi pusat penelitian ilmu pengetahuan selama lebih dari 150 tahun. Salah satu contohnya adalah Pusat Penelitian Biologi dan Konservasi Hutan di Cibodas, yang pada tahun 1945 disebut sebagai "surga para naturalis" oleh ilmuwan Belanda. Ekspedisi-ekspedisi besar seperti penelitian gravimetri di Laut Selatan hingga eksplorasi Alfred Russel Wallace di Nusantara menunjukkan betapa kaya dan pentingnya Indonesia bagi perkembangan ilmu pengetahuan dunia.

Alfred Russel Wallace dan Biodiversitas Nusantara

Kontribusi Alfred Russel Wallace dalam teori evolusi sering kali disejajarkan dengan Charles Darwin. Namun, Wallace tidak bekerja sendiri. Penemuannya di Nusantara, dari Sulawesi hingga Papua dan Lombok, membuka wawasan tentang keanekaragaman hayati yang luar biasa. Biodiversitas yang ditemukan Wallace sangat signifikan dalam pengembangan teori evolusi, menjadikan Nusantara sebagai laboratorium alami bagi ilmu biologi.

Wallace bahkan menyebut Sulawesi sebagai "pulau yang paling luar biasa dan menarik di seluruh dunia". Catatan-catatan Wallace di Nusantara menegaskan pentingnya wilayah ini sebagai pusat penelitian ilmu pengetahuan yang relevan hingga saat ini.

Bahasa Melayu Modern: Dari Sastra ke Politik Bahasa

Sejarah bahasa Melayu, yang menjadi cikal bakal bahasa Indonesia, juga menarik untuk ditelusuri. Sastra Melayu klasik dalam bentuk hikayat telah ada sejak abad ke-15, tetapi bentuk sastra modern seperti novel baru muncul di paruh kedua abad ke-19. Format novel ini memungkinkan penyampaian ide-ide baru dan dokumentasi perubahan sosial, seperti pembangunan kereta api, pabrik, atau dampak perang dunia.

Namun, peran bahasa Melayu dalam membangun kesadaran nasionalisme tidak luput dari perhatian penjajah Belanda. Melalui institusi seperti Balai Pustaka, mereka berusaha mengendalikan narasi yang berkembang dalam bahasa Melayu, yang mereka sebut sebagai "bahasa Melayu rendah." Pada tahun 1901, penelitian Van Averheusen menetapkan "bahasa Melayu tinggi" sebagai acuan resmi, memperkuat proyek politik bahasa yang dijalankan Belanda.

Politik Bahasa dan Penjajahan

Berbeda dengan penjajahan Inggris yang menggunakan bahasa mereka untuk menaklukkan wilayah koloni, Belanda memilih strategi yang lebih subtil. Mereka tidak memaksakan penggunaan bahasa Belanda secara luas di Indonesia, tetapi malah mengembangkan bahasa Melayu sebagai alat kontrol. Strategi ini bertujuan untuk efisiensi dan keuntungan, memastikan bahwa hanya kelompok tertentu yang mempelajari bahasa Belanda, sementara bahasa Melayu digunakan untuk komunikasi luas dan propaganda kolonial.

Kisah ini menunjukkan bagaimana ilmu pengetahuan, budaya, dan bahasa saling berinteraksi di bawah konteks sejarah. Melalui penulisan, dokumentasi, dan interaksi budaya, warisan Nusantara menjadi bagian integral dari perkembangan ilmu pengetahuan global.

Sumber: Chronicles Best of 2024

Komentar

Postingan Populer