Literasi Kekerasan Digital

Bahasa merupakan sistem lambang atau simbol bunyi yang berkembang berdasarkan suatu aturan yang disepakati oleh pemakainya. Melalui bahasa yang digunakan, seseorang dapat dikenali dari mana mereka berasal, termasuk latar sosial budayanya. Bahasa yang disepakati penggunaan dan makna pesannya inilah yang kemudian menjadi identitas sosial masyarakat penuturnya. 

Menurut Richard Jenkins (1996) dalam bukunya yang berjudul "Social Identity Third Edition", identitas sosial sebagai suatu pandangan seseorang tentang siapa dirinya, orang seperti apa mereka, dan bagaimana mereka berhubungan dengan orang lain. Dalam konteks diferensiasi sosial, identitas sosial telah menjadi instrumen membedakan anggota dan kelompok sosial satu sama yang lain. 

Secara umum sebuah identitas sosial dapat dibentuk melalui latar belakang ras, etnis, jenis kelamin, jenis kelamin, status sosial ekonomi, orientasi seksual, usia, agama/keyakinan agama, asal negara, dan emosi, ketidakmampuan dan kemampuan perkembangan. Ragam latar belakang yang berbeda tersebut dapat dikontruksikan kepada kelompok sosial yang satu dengan kelompok sosial yang lain. 

Dari sudut pandang nilai sosial, identitas sosial dapat dibagi mejadi dua, yaitu identitas sosial yang baik dan identitas sosial buruk. Mochtar Lubis dalam bukunya yang berjudul Manusia Indonesia yang terbit pada tahun 1990 pernah memuat kritik tajam terhadap manusia Indonesia. Menurut Lubis, manusia Indonesia memiliki sifat hipokrit atau munafik, enggan bertanggung jawab atas perbuatannya, berjiwa feodal, percaya takhayul, artistik, dan watak yang lemah. Ada yang mengatakan, pandangan Lubis tersebut merupakan konstruksi Belanda terhadap masyarakat Indoensia. Walaupun demikain, manusia Indonesia juga dikenal memiliki sifat baik dimata dunia. Beberapa sifat baik tersebut diantaranya terbuka dengan orang baru, dikenal ramah, murah senyum, dan terlihat santai seakan tidak ada beban.

Sifat baik dan sifat buruk kerap kali kita lihat digunakan berdasarkan kebutuhan saat proses terjadinya interaksi sosial. Kelompok sosial yang sedang menjalankan perannya dalam pengasuhan anggota keluarga, jelas akan mensosialisasikan sifat baik. Sebaliknya, kelompok sosial yang sedang menjalankan perannya dalam pertentangan, jelas akan menampakkan sifat-sifat buruknya. Itulah cara kerja bagaimana sifat baik dan sifat buruk dikonstruksikan. 

Sehubungan dengan bahasa identitas sosial yang baik dan yang buruk, terdapat fenomena sosial yaitu penggunaan bahasa untuk mengkonstruksikan keburukan seseorang di dunia digital, dan juga sebaliknya. Namun dalam tulisan ini, difokuskan pada fenomena penggunaan bahasa buruk atau yang disebut dengan kekerasan digital, yang didalamnya juga mengulas tentang Cyber Bullying, Contoh Bentuk kekerasan Verbal, Bentuk Kekerasan Non – Verbal, dan konsep kekerasan.   

Kekerasan 

Kata kunci yang menjadi indikator suatu kekerasan adalah paksaan. Kegiatan apa pun yang mengandung paksaan adalah kekerasan. Johan Galtung merupakan seorang sosiolog dan matematikawan yang berkebangsaan Norwegia. Beliau merupakan perintis utama studi perdamaian dan konflik yang juga merupakan pendiri dari Peace Research Institute Oslo (PRIO). Dalam tulisanya Galtung menyampaikan bahwa setiap bentuk kekerasan saling berhubungan dan dapat saling mempengaruhi. 

Galtung sendiri membedakan jenis – jenis kekerasan menjadi tiga yaitu, Direct Violence, merupakan bentukan kekerasan langsung yang dilakukan oleh aktor tersebut. Bentuk kekerasan ini terlihat dari sisi fisik maupun psikologisnya, dimana ada pelaku dan korban. Model kekerasan seperti ini yang biasanya diartikan dengan “kekerasan” pada umumnya. Seperti misalnya, penyiksaan, pembunuhan, penganiyaan fisik maupun mental, penghinaan, diskriminasi personal, bullying, dll. Bisa dikatakan tagline yang sering kita lihat atau kita dengan terkait kekerasan masuk ke dalam kategori kekerasan jenis ini. Apabila dikaitkan dengan Indonesia dan Ideologi Pancasila, hal – hal terkait model direct violence dapat dijabarkan melalui sila kedua beserta turunanya yaitu Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab.

Bentukan berikutnya yang ditulis oleh Galtung adalah Structural Violence, model kekerasan ini melibatkan sebuah bentukan struktur yang menaungi banyak orang. Oleh karena itu kekerasan bentuk ini mirip dengan bentuk ketidakadilan sosial ataupun sebuah struktur yang mengusung hal tersebut. Model kekerasan ini dapat dikatakan dibentuk oleh kekuatan yang tidak terlihat dan dibentuk secara struktur yang mencegah pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Bentukan ini cenderung termanifestasi secara tidak langsung tanpa sebab yang jelas. Hal ini dikarenakan bentukan kejahatan struktur membentuk realita anggota di dalam struktur tersebut, sehingga manusia di dalamnya secara struktur tidak menyadari kalau dirinya sedang diperlakukan dengan tidak adil. Contoh model kejahatan struktural seperti, ketidaksamaan akses terhadap pendidikan, hak untuk hidup dan memiliki penghidupan, undang – undang rasial tertentu, apartheid, perbedaan taraf kesejahteraan, dll. Terkait kejahatan struktural apabila dikaitkan dengan Indonesia dan Pancasila dapat dijabarkan oleh Sila Ke Lima beserta turunanya yaitu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Dalam perjalanya kedua model kekerasan ini seperti yang disampaikan Galtung dapat saling berkaitan dan saling mempengaruhi. Sebagai contoh misalnya tindak pidana korupsi. Tindakan korupsi sendiri merupakan ranah kekerasan langsung (direct violence) karena dilakukan langsung oleh aktor tersebut oleh karena itu secara kontras dapat dikatakan tindak pidana korupsi memiliki kategori yang sama dengan maling sendal ataupun pembunuhan. Oleh karena itu secara timbal baliknya aktor tersebut yang mendapatkan hukuman. Namun dalam perjalananya, seperangkat tindak pidana korupsi dapat juga masuk ke dalam kejahatan struktural apabila pelaku korupsi tidak dihukum sesuai dengan hukum yang berlaku. Hal ini dikarenakan bentuk hukum merupakan sesuatu yang terstruktur dan diperuntukan untuk banyak orang. Atau apabila hukuman terhadap koruptor dalam set hukumnya dipersepsikan tidak berimbang dengan hukuman terhadap kekerasan langsung lainya, sehingga secara struktur dianggap tidak adil. Yang dalam kedua skenario tersebut merupakan kecacatan struktur yang mengakibatkan terjadinya kekerasan struktural.

Model kekerasan yang ketiga yang ditulis Galtung adalah Cultural / Symbolic Violence, model kekerasan ini merupakan aspek sosial kebudayaan masyarakat yang membiarkan atau mendukung terjadinya dua model kekerasan sebelumnya (direct & structural). Oleh karena itu model kekerasan ini sangat lekat dengan kultur masyarakat tempatan dimana kadang bisa dikatakan ada hukum dibalik hukum yang biasa termanifestasi dalam sikap ataupun prasangka tertentu. Contoh model kekerasan bentuk ini seperti, rasisme, sexisme, fasisme, homophobia, dll. Mungkin contoh paling dekat yang kadang kita biasa dengar terkait model kejahatan ini adalah bentukan persekusi, dimana masyarakat memiliki kecenderungan untuk main hakim sendiri.

Kekerasan Digital 

Menurut King dalam Paramita (2012) verbal abuse (kekerasan digital) merupakan bentuk tindakan yang menggunakan kata-kata atau bahasa yang dipakai untuk merendahkan, meremehkan atau memfitnah dan menyakiti orang lain.  Seperti yang diketahui bahwa kekerasan adalah suatu tindakan yang ditujukan kepada orang lain tidak hanya dalam bentuk fisik, melainkan juga dalam bentuk verbal. Kekerasan biasanya dilakukan dengan sengaja untuk mencelakakan, mengintimidasi, dan menyakiti orang lain baik secara langsung atau tidak langsung. 

Menurut Nindya dan Margaretha (2012: 2) kekerasan dalam bentuk verbal atau sering dikenal dengan kekerasan emosional merupakan sikap atau perilaku yang terjadi di antara lingkungan sosial yang dapat melibatkan perasaan membahayakan bagi diri seseorang untuk melakukannya 

Kekerasan verbal tentunya dapat mengganggu perkembangan sosial dan menghambat perkembangan karakter. Kekerasan verbal digunakan sebagai alat untuk menyakiti orang lain dengan penyalahgunaan bahasa, tanpa tahu bagaimana fungsi bahasa yang baik dan santun.

Selain itu kekerasan verbal (verbal abuse) bisa juga dikatakan sebagai pemerasan emosional (emosional abuse black mail) merupakan suatu bentuk manipulasi langsung atau tidak langsung, di mana orang yang melakuan kekerasan akan mengancam dan menghukum korban bila apa yang dia inginkan tidak dilakukan (Forward via Paramita, 2012: 255). Adapun More dan Fine dikutip Lili via Nisa dan Wahid, (2014: 90) mendefinisikan agresi sebagai tingkah laku kekerasan secara fisik seperti memukul ataupun secara verbal berupa penggunaan kata-kata kasar terhadap orang lain. Kekeran verbal dalam komunikasi dimaknai sebagai bentuk kekerasan yang halus (Rasyid via Nisa dan Wahid, 2014: 90). Kekerasan ini tidak akan menimbulkan secara langsung, tetapi dampaknya dapat membuat orang lain putus asa apabila dilakukan secara ulang. Selain itu, I. Praptama Bariyadi memberikan pendapat bahwa kekerasan verbal merupakan wujud dalam tindak tutur (Nisa dan Wahid, 2014: 90). Tindak tutur tersebut tidak hanya dilakukan dengan cara memaki, memarahi, ataupun berkata kasar, tetapi perlu diketahui bahwa sikap pengabaian atau quit abuse bisa dikatakan juga sebagai kekerasan verbal karena mengalami gangguan konsep diri dan merasa dirinya tidak berharga sehingga mencari perhatian.

Menurut Wibowo, F., & Parancika, kekerasan verbal merupakan bentuk kekerasan psikologis yang menggunakan bahasa verbal sebagai alat melindungi diri atau melampiaskan dari tindakan yang pernah dialaminya, kekerasan verbal juga sebagai bentuk tindakan sengaja (keisengan atau guyonan), dan kekerasan verbal sebagai bentuk kejahatan mental atau moral yang dilakukan oleh setiap individu yang mendatangkan tindakan-tindakan kriminal. Hal tersebut juga sangat berdampak negatif, karena akan membuat orang lain tidak peka, mengganggu perkembangan emosi, dan menghilangkan kepercayaan diri yang menjadi penyebab bunuh diri, serta menyebabkan ingatan berkurang.

Fakta Kekerasan Digital

Fakta #1
Sebuah survei terbaru mengklaim bahwa 90 persen korban kekerasan digital adalah perempuan.

Fakta #2
Setelah putus cinta, jika pasangan mencoba untuk mengunggah gambar intim Anda di situs jejaring sosial, maka itu kelak bisa menjadi taktik pemerasan.
Fakta #3
Memasang kamera rahasia di kamar mandi atau di kamar tidur, dan membagi rekaman itu dengan teman-teman juga termasuk kekerasan digital, bahkan juga tergolong kejahatan.

Fakta #4
Dalam sebagian besar kasus, motif utama kekerasan digital (dalam rumah tangga) adalah untuk membalas dendam pada seseorang yang baru saja pindah dan hidup dengan damai.

Fakta #5
Sebuah studi baru-baru ini mengklaim bahwa satu dari 10 hubungan yang gagal mungkin ada satu pasangan yang mengancam pasangannya dengan ancaman akan membocorkan gambar intim mereka.

Fakta #6
Kekerasan digital dapat menyebabkan rasa sakit emosional dan penyiksaan mental yang sangat besar. Bahkan, itu termasuk tindakan kriminal (pelecehan) dan bisa dikenakan hukuman.

Cyber Bullying

Bullying sendiri  adalah  merupakan suatu   tindakan   agresif   yang   tidak   menyenangkan   dan perbedaan powerbaik secara psikis atau fisik yang dilakukan secara   berulang.   Ketika   dahulu bullyinghanya   bersifat tradisional   dimana   tindakan   agresif   itu   dilakukan   ketika berinteraksi    langsung    dengan    lawan    bicaranya,    kini bullyingberevolusi   dengan   tidak   perlunya   seseorang   atau kelompok  untuk  berinteraksi  dengan  lawan  bicaranya  ketika akan melakukan tindakan agresif, evolusi inilah yang disebut dengan cyber bullying.

Contoh Cyber Bullying 

Called Name = Pemberian     nama     negatif     kepada     korban     oleh pelaku bullying, merupakan perkembangan lanjutan dari sikap bullying.

Image of Victim Spread = Model dari tindakan - kekerasan dari Imaging  Spread ini adalah menyebar luaskan foto korban yang dirasa mampu menjatuhkan  baik  harga  diri  maupun  mental  dari  korban tersebut

Threatened Physical Harm (Ancaman Fisik) = Model  ini  merupakan  kekerasan  dalam  bentuk  verbal, dan  pesan  yang  disampaikan  berisikan  pesan-pesan  yang bernada  ancaman  atau  teror,  baik  ancaman  skala  sedang –ucapan awas  kau,  bila  bertemu  akan  aku  pukul,  nanti  kau akan  aku  tendang,  dan  semacamnya–atau  ancaman  skala berbahaya –awas, nanti kau aku bunuh, lihat saja besok, kau akan   mati   dan   semacamnya

Opinion Slammed (Kritis yang Keliru) = Pendapat  yang  merendahkan  tidak  terjadi  hanya  pada ranah umum saja melainkan pada ranah keagamaan seringkali pihak satu menjatuhkan pihak lain karena berbeda pandangan dalam   memahami   suatu   anjuran   dalam   agama.   Opini merendahkan  semacam  ini  seperti  ucapan  ―dasar   anak kampung,  bocah  kemarinsore,  ustadz/ah  sekuler” dalam kasus cyber  bullying terjadi  karena  ketidaksinkronan  antara kedua  belah  pihak  dan  ketidaksinkronan  tidak  diupayakan untuk dimusyawarahkan lebih lanjut

Contoh Bentuk Kekerasan Verbal

Berikut ini merupakan contoh dari bentuk kekerasan verbal yang peranah terjadi; 
  • Menyalahkan : Jenis ini melibatkan membuat korban percaya bahwa mereka bertanggung jawab atas perilaku kasar atau bahwa mereka membawa pelecehan verbal pada diri mereka sendiri.
  • Merendahkan : Meskipun sering disamarkan sebagai humor, komentar sarkastik yang dimaksudkan untuk meremehkan dan merendahkan orang lain dapat menjadi bentuk pelecehan verbal.
  • Kritik : Ini melibatkan komentar kasar dan terus-menerus yang dimaksudkan untuk membuat orang tersebut merasa buruk tentang diri mereka sendiri dan tidak konstruktif tetapi disengaja dan menyakitkan. Kritik bisa menyakitkan di depan umum atau pribadi, terutama jika orang tersebut hanya bersikap jahat dan tidak berniat untuk menjadi konstruktif.
  • Gaslighting : Ini adalah jenis pelecehan emosional yang berbahaya, dan terkadang terselubung, di mana pelaku membuat target mempertanyakan penilaian dan kenyataan mereka.
  • Penghinaan :dihina di depan umum oleh teman sebaya, teman, anggota keluarga, atau pasangan kencan, ini bisa sangat menyakitkan. Penilaian : Jenis pelecehan verbal ini melibatkan memandang rendah korban, tidak menerima mereka apa adanya, atau menahan mereka pada harapan yang tidak realistis.
  • Manipulasi : Menggunakan kata-kata untuk memanipulasi dan mengendalikan orang lain juga merupakan jenis pelecehan verbal. Ini dapat mencakup pernyataan seperti, “Jika kamu benar-benar mencintai saya, kamu tidak akan memberitahu siapapun tentang hubungan kami,” atau menggunakan rasa bersalah untuk membuat kamu melakukan hal-hal tertentu.
  • Atribusi: Bahasa kasar, kasar, atau kasar yang merugikan diri subjek – harga diri, harga diri, dan konsep diri. Terlibat dalam atribusi adalah bentuk pelecehan verbal. Itu bukan perlakuan yang dapat diterima dari orang lain, bahkan jika mereka memanggil namaku dengan suara netral.
  • Menggoda: Orang yang melecehkan kamu secara verbal biasanya mengubah kamu menjadi lelucon. Hal ini dapat dilakukan dengan tatap muka atau tatap muka. Tapi itu bukan kesenangan yang tidak berbahaya jika kamu tidak menganggapnya lucu. Selain itu, pelaku kekerasan verbal biasanya memilih lelucon yang menyerang area di mana mereka merasa rentan atau rentang.
  • Ancaman: Ini termasuk pernyataan yang dirancang untuk mengintimidasi, mengendalikan, atau memanipulasi korban agar tunduk. Ancaman tidak boleh dianggap enteng. Ketika orang mengancam korban, mereka mencoba mengendalikan dan memanipulasi korban Ingat, tidak ada cara yang lebih baik untuk mengendalikan seseorang selain menakut-nakuti mereka dengan cara tertentu.
  • Menahan: Jenis pelecehan verbal ini melibatkan penolakan untuk memberikan kasih sayang atau perhatian, seperti berbicara dengan calon korban, melihat , atau berada di ruangan yang sama.
Bentuk Kekerasan Non – Verbal

Bentuk-bentuk kekerasan non-verbal dapat dilihat paca contoh sebagai berikut; 
  • Posting foto tanpa persetujuan: Posting foto seseorang tanpa persetujuan mereka adalah pelecehan verbal. Ini sama untuk pekerjaan dan cinta. Harap dicatat bahwa gambar tidak harus bersifat pribadi. Memposting gambar tanpa persetujuan sebelumnya tidak dianggap sebagai pelecehan verbal.
  • Mengirim Foto yang Tidak Diminta: Di era media sosial, semua orang terhubung dan memiliki akses, kemampuan, dan kebebasan untuk saling mengirim foto. Namun, mengirim gambar yang tidak diminta tanpa pandang bulu adalah pelecehan non-verbal.
  • Kesenjangan atau Tatapan: Tatapan, tatapan, atau celah yang canggung adalah pelecehan non-verbal.
  • Hadiah yang Tidak Diinginkan: Menerima hadiah yang tidak diinginkan atau menyinggung adalah pelecehan yang tidak diucapkan. Ini mungkin termasuk menerima bantuan atau dukungan yang tidak diinginkan.
  • Sentuhan Fisik yang Tidak Pantas: Semua bentuk sentuhan fisik yang tidak pantas adalah bagian dari pelecehan non-verbal. Ini termasuk meletakkan tangan di bahu, menggosok sesuatu saat berjalan, berdiri dekat dengan tidak nyaman, atau kontak lain yang membuat orang tersebut tidak nyaman.
  • Gerakan Wajah: Seringai kasar, bersiul, dan bersiul juga merupakan bentuk pelecehan non-verbal.
  • Gerakan Tangan yang Tidak Pantas: Gerakan tangan yang mempermalukan orang lain adalah pelecehan non-verbal.
  • Memposting pesan atau foto pribadi di forum publik: Memposting pesan atau foto pribadi seseorang di forum publik adalah pelecehan verbal. Ini termasuk memposting langsung di platform publik dan membagikan gambar dan pesan ini melalui komunitas orang.
  • Cyberstalking: Ini adalah bentuk baru pelecehan non-verbal yang memungkinkan pengiriman pesan melalui platform online. Ini termasuk pelacakan lokasi ponsel dan menggunakan data itu untuk mengintip seseorang di kehidupan nyata.
Kekerasan Seksual 

Berdasarkan jenisnya, kekerasan seksual dapat digolongkan menjadi kekerasan seksual yang dilakukan secara: verbal, nonfisik, fisik, dan daring atau melalui teknologi informasi dan komunikasi. 
Selain pemerkosaan, perbuatan-perbuatan di bawah ini termasuk kekerasan seksual.
  • berperilaku atau mengutarakan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan penampilan fisik, tubuh ataupun identitas gender orang lain (misal: lelucon seksis, siulan, dan memandang bagian tubuh orang lain);
  • menyentuh, mengusap, meraba, memegang, dan/atau menggosokkan bagian tubuh pada area pribadi seseorang;
  • mengirimkan lelucon, foto, video, audio atau materi lainnya yang bernuansa seksual tanpa persetujuan penerimanya dan/atau meskipun penerima materi sudah menegur pelaku;
  • menguntit, mengambil, dan menyebarkan informasi pribadi termasuk gambar seseorang tanpa persetujuan orang tersebut;
  • memberi hukuman atau perintah yang bernuansa seksual kepada orang lain (seperti saat penerimaan siswa atau mahasiswa baru, saat pembelajaran di kelas atau kuliah jarak jauh, dalam pergaulan sehari-hari, dan sebagainya);
  • mengintip orang yang sedang berpakaian;
  • membuka pakaian seseorang tanpa izin orang tersebut;
  • membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam seseorang untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang sudah tidak disetujui oleh orang tersebut;
  • memaksakan orang untuk melakukan aktivitas seksual atau melakukan percobaan pemerkosaan; dan
  • melakukan perbuatan lainnya yang merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan dengan aman dan optimal.
Rujukan Tulisan 
  • Fitriana, Yuni. 2015. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Orang Tua dalam Melakukan Kekerasan Verbal Terhadap Anak Usia Pra Sekolah. Jurnal Psikologi Undip Vol. 14 No. 1 April. Yogyakarta: Prodi Kebidanan Akademik Kebidanan Yogyakarta.
  • Nindya. P. N dan Margaretha. R. 2012. Hubungan antara Kekerasan Emosional pada Anak terhadap Kecenderungan Kenakalan Remaja. Jurnal Psikologi Klinis dan Kesahatan Mental Vol. 1 No. 2 Juni. Surabaya: Universitas Air Langga.
  • Nisa, A Choirun dan Wahid Umaimah. 2014. Analisis Isi Kekerasan Verbal dalam Sinetron “Tukang Bubur Naik Haji The Series” di RCTI (Analisis Isi Episode 396-407). Jurnal Komunikasi, ISSN 1907-898X Vol. 9 No. 1 Oktober. Jakarta: Universitas Budi Luhur.
  • Paramita, Vidya Greta. 2012. Emosional Abuse dalam Hubungan Suami Istri. Jurnal Humaniora Vol. 3 No. 1 April. Jakarta: Bina Nusantara University.
  • Wibowo Agus. (2013). Pendidikan Karakter Berbasis Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Yulianto, Agus. 2017. Duka Dunia Pendidikan. http://www.republika.co.id/berita/jurnalismewarga/wacana/17/05/25/oqhaj7396-duka-dunia-pendidikan. (diakses pada tanggal 4 April 2018 pukul 13.40 WIB)
  • Wibowo, F., & Parancika, R. B. (2018). Kekerasan Verbal (Verbal Abuse) di Era Digital Sebagai Faktor Penghambat Pembentukan Karakter. Seminar Nasional Kajian Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya (SEMNAS KBSP) V 2018.
  • Edisi tempo https://cantik.tempo.co/read/866630/kekerasan-digital-ada-di- sekitar-kita-simak-6-faktanya  
  • https://binus.ac.id/bandung/2023/01/mengenal-definisi-kekerasan-menurut-johan-galtung/
  • https://umsu.ac.id/kekerasan-verbal-non-adalah/

Komentar

Postingan Populer