CERPEN SEKOLAH RISET - Ruangan ber-AC di Lantai 7 Fakultas Ilmu Sosial itu berubah menjadi medan tempur. Di atas meja kayu panjang, proposal penelitian tentang "Dampak Program 'Kota Kreatif' terhadap Kehidupan Komunitas Lokal" terbentang bagai peta konflik. Lima orang peneliti dari disiplin berbeda duduk dengan senjata andalan mereka: metodologi.
Dr. Arga, psikolog eksperimental dengan kacamata frameless, membuka pertempuran. "Untuk membuktikan sebab-akibat secara jelas, kita perlu *experiment*," suaranya tegas. "Kita bagi dua kelurahan, satu dapat program, satu tidak. Lalu kita ukur variabel sebelum dan sesudah. Baru kita bisa katakan dengan yakin: perubahan ini *disebabkan* oleh program, bukan faktor lain."
Dara, sosiolog kuantitatif, langsung menyergap. "Itu tidak etis dan tidak realistis, Pak Arga. Pemerintah tidak akan mau jadi 'kelompok kontrol'. Selain itu, *trade-off*-nya terlalu besar. Kita kehilangan *naturalism*. Ini dunia nyata, bukan lab yang steril."
Arga tak menyerah. "Tapi tanpa eksperimen, klaim kita lemah. Kita hanya bisa bilang 'berkorelasi', bukan 'menyebabkan'."
"Makanya," sela Bima, ahli statistik yang paling muda, "kita gunakan *survey* skala besar. Kita sebar kuesioner ke 1000 responden di berbagai kelurahan. Kita bisa tahu *berapa banyak* warga yang merasakan dampak, *seberapa luas* perubahan pendapatan, kepuasan hidup. Data kita kuat secara generalisasi."
Sarinah, antropolog dengan gelang kayu dan mata yang tajam, mendesis kesal. "Angka-angka kalian itu buta! *Survey* mungkin menjawab 'berapa banyak', tapi tidak akan pernah bisa menjawab *bagaimana* dan *mengapa*! Bagaimana proses seorang seniman lokal tiba-tiba dianggap 'kreatif' oleh negara? Mengapa ada masyarakat yang justru terpinggirkan oleh label 'kota kreatif' ini? Hanya *qualitative field research*—hanya dengan hidup bersama mereka, mengamati, dan wawancara mendalam—yang bisa menangkap makna di balik semua ini!"
Perdebatan memanas. Arga bersikukuh pada rigor sebab-akibat. Bima membela kekuatan generalisasi survei. Sarinah berapi-api membela kedalaman pemaknaan.
Kemudian, Gilang, peneliti komunikasi yang pendiam, berbicara. "Ada cara lain. *Unobtrusive research*. Kita analisis dokumen arsip pemerintah, postingan media sosial warga, karya seni yang lahir sebelum dan sesudah program. Kita tidak mengganggu subjek sama sekali. Data datang secara organik."
"Tapi validitasnya?" sanggah Bima cepat. "Bagaimana kita mengukur 'dampak' hanya dari postingan media sosial? Itu subjektif!"
"Dan bagaimana dengan *evaluation research*?" tambah Mira, peneliti kebijakan publik yang praktis. "Ini kan program pemerintah. Tujuan kita seharusnya mengevaluasi dampaknya di dunia nyata. Apakah program ini efektif? Efisien? Itu yang dibutuhkan pembuat kebijakan."
Sarinah menyeringai. "Dan kita akan terjebak dalam kompleksitas politik dan logistik mereka! Kita hanya jadi stempel untuk melegitimasi program, bukan memahami realitas warga!"
Ruangan kembali riuh. Masing-masing berseteru, mempertahankan benteng metodologisnya. Arga dengan eksperimennya yang ketat namun artifisial. Bima dengan surveinya yang luas namun dangkal. Sarinah dengan pendekatan kualitatifnya yang mendalam namun tidak tergeneralisasi. Gilang dengan penelitian *unobtrusive*-nya yang tidak mengganggu namun sulit divalidasi. Mira dengan penelitian evaluasinya yang relevan namun rentan politis.
Mereka seperti sekelompok orang buta yang memegang bagian gajah yang berbeda dan bersikeras bahwa bagiannya itulah yang paling benar.
Pertemuan hampir buntu. Hingga Dr. Arga, dengan tenang, melepas kacamatanya dan memandangi mereka semua.
"Kalian semua benar," katanya, mengejutkan mereka. "Dan kalian semua juga salah."
Dia berdiri dan mendekati papan tulis.
"Kita terjebak dalam dikotomi. Padahal, pertanyaan penelitian kita kompleks. Ia butuh jawaban 'berapa banyak', 'bagaimana', 'mengapa', dan 'apakah efektif', sekaligus."
Tangannya menari di papan tulis, menggambar sebuah diagram.
"Kita tidak perlu memilih satu. Kita gunakan *mixed methods*."
Matanya berbinar. "Bima, kamu desain *survey*-nya untuk mengukur sebaran dan skala dampak. Sarinah, kamu lakukan *field research* intensif di dua lokasi untuk menggali cerita dan makna di balik angka-angka Bima. Gilang, kamu analisis jejak digital dan arsip untuk melengkapi kedua data mereka. Mira, kamu rangkum temuan mereka semua dalam kerangka evaluasi kebijakan. Dan saya," ia tersenyum pada Arga, "akan membantu mendesain elemen kuasi-eksperimen dalam survei untuk memperkuat klaim kausal kita, meski dalam setting natural."
Keheningan menyergap ruangan. Kemudian, satu per satu, senyum merekah. Mereka menyadari bahwa labirin metode ini bukan untuk ditaklukkan oleh satu pendekatan, tetapi untuk dilalui dengan kolaborasi. Kekuatan satu metodologi dapat menutupi kelemahan metodologi lainnya.
Mereka bukan lagi musuh yang berseteru, tetapi sekutu yang memiliki alat berbeda untuk menguak satu kebenaran yang sama. Perdebatan sengit itu akhirnya berbuah pada sebuah desain penelitian yang lebih kaya, lebih lentur, dan lebih siap menghadapi kompleksitas dunia nyata. Mereka belajar bahwa kadang, jawaban paling ilmiah justru terletak pada kerendahan hati untuk mengakui bahwa tidak ada satu metode pun yang sempurna.
Posting Komentar
0Komentar