CERPEN FIKSI - Bu Yan, atau lebih akrab dipanggil Bu Yan Bu Yan, adalah sang legenda. Di balik kacamata tebalnya, tersimpan samudera pengetahuan yang siap mengalir deras kapan saja. Meski usia telah menapak senja, posturnya tetap tegap, seolah menyimpan semangat yang tak lekang waktu.
Hari itu, di ruang kelas yang terik, seorang siswa bernama Raka berdiri gemetar mempertahankan karya tulisnya tentang "Bahaya Rokok Elektrik di Kalangan Remaja". Beberapa guru lain meragukan data yang ia sajikan, bahkan menudingnya berlebihan.
"Data Raka valid," suara Bu Yan tiba-tiba membelah ruang rapat. Tanpa meninggikan suara, dengan keramahan khasnya, ia memaparkan berbagai referensi yang mendukung penelitian Raka. "Kita harus membela kebenaran, bukan sekadar membela kenyamanan."
Begitulah Bu Yan. Di balik sikapnya yang ramah, tersimpan ketegasan yang tak tergoyahkan ketika menyangkut karya ilmiah siswa.
Ruang Referensi di perpustakaan sekolah adalah masa depan pengandiannya. Di ruang dengan rak-rak buku kuno bertinggi isi, Bu Yan menjadi sosok yang tegas, disiplin, bahkan kerap dianggap jutek. Tapi di sanalah keajaiban terjadi.
"Raka, data kuantitatifmu masih lemah," ujarnya suatu sore, matanya yang tajam menelusuri setiap baris laporan. "Kau perlu survei ke lima sekolah lain."
Raka menghela napas. Tapi Bu Yan tak pernah membiarkan siswa menyerah. Dengan sabar ia membimbing, mengoreksi, dan mengarahkan. Tak peduli Raka berasal dari keluarga sederhana, atau Andi yang anak pengusaha, atau Sari yang penyandang disabilitas - semua dilayaninya dengan sama rata.
Keunikan Bu Yan tak berhenti di situ. Sebagai perempuan Jawa tulen, ia selalu mengenakan kebaya dan kain jarik dengan elegan. Suaranya yang merdu seringkali menggema di upacara-upacara besar sekolah, menunjukkan penguasaannya sebagai master ceremonial. Seni vokal tradisional Jawa pun ia kuasai dengan sempurna.
"Penelitian yang baik ibarat tembang Macapat," katanya suatu kali pada Raka. "Ada aturannya, ada iramanya, tapi tetap harus indah didengar."
Bulan-bulan berlalu. Di bawah bimbingan Bu Yan, penelitian Raka tak hanya menjadi karya tulis biasa. Ia mengembangkannya menjadi program sosial, membuat komik edukatif, bahkan tampil dalam lomba debat tingkat provinsi.
Hari Penghargaan tiba. Raka berdiri di panggung, memegang piala juara olimpiade penelitian. Matanya mencari sosok Bu Yan yang berdiri tenang di pojok ruangan. Saat tatapan mereka bertemu, Bu Yan hanya tersenyum kecil, mengangguk pelan.
Keesokan harinya di Ruang Referensi, Bu Yan menyodorkan buku baru kepada Raka.
"Selamat," katanya singkat. "Tapi ingat, karya terbesarmu bukanlah piala ini." Ia menunjuk ke rak-rak buku di sekeliling mereka. "Karya terbesarmu adalah ketika kau bisa menginspirasi orang lain dengan tulisanmu."
Raka pun paham. "Sentuhan" Bu Yan bukanlah sihir, melainkan dedikasi tanpa syarat. Ia tak sekadar mengajar Bahasa Indonesia, tapi membentuk karakter. Melestarikan identitas sosial bukan hanya dengan busana tradisional, tapi dengan menanamkan nilai-nilai luhur melalui karya ilmiah.
Dan di ruang tanpa wifi yang penuh buku itulah, Bu Yan terus menjadi penjaga oase kata-kata, membimbing setiap generasi untuk menemukan suara mereka, mengukir warisan yang takkan pernah lekang oleh waktu.
Penulis: BRT Deepseek
Berkas Foto untuk penguat ilustrasi cerita
Posting Komentar
0Komentar