Bayang-Bayang Politik Penelitian

Daun dan Biji
By -
0

CERPEN SEKOLAH RISET - Di lantai enam Gedung Ilmu Sosial, komunitas penelitian "Cakra" berdebat tentang proposal terbaru mereka. Dr. Anya, seorang sosiolog idealis dengan sorot mata tajam, memimpin pertemuan itu. Di hadapannya, dua kutub berseberangan duduk berseberangan.

Di satu sisi, ada Dr. Bima. Peneliti kariristik yang cerdas dan ambisius. Bagi Bima, penelitian adalah tangga menuju pengakuan dan pendanaan. "Kita harus realistis, Anya! Proposal penelitian kita tentang 'Faktor-Faktor Penyebab Kemiskinan Struktural di Perkotaan' akan sulit sekali dapat pendanaan. Lihat trennya, yang didanai itu penelitian yang 'applicable' dan 'menguntungkan'," ujarnya, mengutip jargon favorit para penyandang dana.

Di sisi lain, duduk Karina, mahasiswa S2 yang vokal dan kritis. "Jadi kita harus mengorbankan integritas hanya untuk uang? Apa gunanya penelitian jika tidak menyentuh akar persoalan yang sebenarnya? Bukankah kita justru harus menyoroti ketimpangan ini?" bantahnya, matanya berapi-api.

Anya menghela napas. Dia memahami kedua pihak. Bima baru saja mendapat tawaran menggiurkan dari Yayasan Penelitian, sebuah konglomerat yang bergerak di bidang properti, untuk meneliti "Dampak Positif Pembangunan Kawasan Komersial Terhadap Perekonomian Warga Sekitar." Topik yang sangat bertolak belakang dengan niat awal mereka.

"Bima, ini persis seperti yang diingatkan Babbie," kata Anya lembut. "Politik pendanaan akan membunuh semangat penelitian kita sebelum kita mulai. Mengapa kita meneliti kawasan komersial dan bukan kemiskinan? Karena itu yang didanai."

Bima menyeringai. "Ini bukan soal politik, Anya. Ini soal kelangsungan hidup tim kita. Lab butuh peralatan baru, asisten penelitian butuh dibayar. Dengan dana Yayasan ini, kita bisa membiayai sepuluh penelitian lain nantinya."

Konflik pun meruncing. Karina menolak keras kolaborasi dengan yayasan yang ia duga sering menggusur lahan warga kecil. Bima bersikeras bahwa dengan klausul independensi akademik yang ketat, mereka bisa tetap objektif.

Akhirnya, dengan berat hati, Anya memutuskan untuk mengambil proyek Yayasan Surya Kencana, dengan syarat tim juga tetap menjalankan penelitian tentang kemiskinan secara paralel dengan dana yang jauh lebih terbatas. Sebuah kompromi yang membuat Karina kecewa.

Bulan-bulan berlalu. Penelitian kawasan komersial berjalan mulus. Data dikumpulkan, wawancara dilakukan. Temuan awal mereka cukup netral: ada peningkatan lapangan kerja serabutan, tetapi juga kenaikan biaya hidup dan kerenggangan sosial. Bima cenderung menonjolkan temuan positifnya, sementara Karina menekankan dampak negatifnya.

Suatu sore, sebelum laporan final dirilis, perwakilan Yayasan Surya Kencana, Pak Hendra, datang menemui Anya. Dengan senyum ramah dan segelas kopi, ia berbicara halus. "Dr. Anya, penelitian yang bagus. Namun, untuk bagian 'kerenggangan sosial' dan 'kenaikan biaya hidup' ini... apakah tidak terlalu ditekankan? Bukankah lebih baik kita fokus pada optimisme dan peluang baru yang tercipta? Ini untuk kebaikan bersama, agar program CSR kami bisa berjalan lebih lancar."

Anya membeku. Inilah penyalahgunaan yang dia khawatirkan. Penelitian mereka hendak dibajak untuk pencitraan. Dia menolak dengan halus tetapi tegas.

Keesokan harinya, Bima mendatanginya dengan wajah pucat. "Anya, mereka mengancam akan memotong dana dan mencoret nama kita dari daftar peneliti rekomendannya jika kita tidak 'menyesuaikan' laporan."

Karina, yang mendengar percakapan itu, meledak. "Sudah kuduga! Kita hanya jadi stempel bagi mereka! Aku tidak akan membiarkan namaku dicatut!"

Anya memandangi kedua rekannya. Bima, yang terobsesi pada kesuksesan karir. Karina, yang murni namun gegabah. Dan dirinya sendiri, yang terjepit di tengah.

Dia teringat kata-kata Babbie: *komitmen tertinggi seorang ilmuwan sosial adalah kepada kebenaran ilmiah dan kemanusiaan.*

"Kita akan merilis laporan yang apa adanya," kata Anya dengan suara tenang namun penuh keyakinan. "Dengan semua temuan, baik yang 'menyenangkan' maupun yang 'mengganggu'. Itulah tanggung jawab kita."

Bima protes, "Tapi karir kita—"

"Karir seorang peneliti," sela Anya, "dibangun di atas kebenaran, bukan di atas kepatuhan buta. Jika kita mengorbankan itu, maka kita bukan lagi ilmuwan, kita hanya jadi teknisian yang menjual legitimasinya."

Pertarungan internal pun terjadi. Bima akhirnya, dengan gigit jari, setuju untuk berdiri di pihak kebenaran. Mereka merilis laporan lengkap. Konsekuensinya datang dengan cepat. Yayasan Surya Kencana marah dan memutuskan hubungan. Beberapa media pro-konglomerat menyudutkan tim Cakra.

Namun, sesuatu yang indah terjadi. Laporan mereka menjadi viral di kalangan akademisi dan aktivis. Penelitian independen mereka tentang kemiskinan, yang selama ini terbengkelai, tiba-tiba mendapat perhatian dan dana dari lembaga donor yang peduli pada integritas. Mereka kehilangan satu pendana besar, tetapi mendapatkan kembali jiwa mereka sebagai peneliti.

Di ruang kerjanya yang sederhana, Anya memandang kota di balik jendela. Dia sadar, di dunia penelitian, bayang-bayang politik dan kekuasaan akan selalu ada. Tetapi selama ada keberanian untuk memegang teguh kebenaran, cahaya ilmu pengetahuan akan selalu menemukan jalannya untuk bersinar, sekecil apa pun itu. Seorang peneliti yang baik bukanlah sekadar teknisi yang cakap, melainkan seorang pemikir yang bertanggung jawab atas setiap dampak dari karyanya.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)