Kajian Literatur Tentang Konflik Agama
Febrianto, D., & Putra, C. R. W. (2020). Hegemoni Kekuasaan Dalam Novel Koplak Karya Oka Rusmini: Kajian Sosiologi Sastra. KREDO: Jurnal Ilmiah Bahasa dan Sastra, 3(2), 204-219.
Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan hegemoni kekuasaan yang terdapat di dalam novel Koplak karya Oka Rusmini, yang berkaitan dengan kelompok sosial yang mendominasi dan didominasi, supremasi kepemimpinan intelektual dan moral, serta kelompok politik. Jenis penelitian ini yaitu penelitian kualitatif. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analisis karena melakukan penggambaran yang berfokus kepada situasi atau proses yang diteliti atau dengan cara mendalami suatu fenomena di dalam suatu masalah. Pendekatan pada penelitian ini adalah pendektan sosiologi sastra. Sumber data penelitian yaitu novel Koplak karya Oki Rusmini. Data pada penelitian ini berupa kalimat maupun paragraf yang memiliki relevasi dengan representasi sebagai refleksi zaman, representasi kepengarangan, dan representasi dari kesejarahan. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik baca dan catat. Adapun metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode model Miles dan Hubermann. Menurut Huberman yang terdiri dari empat langkah, yaitu: data collection (pengumpulan data), data reduction (reduksi data), data display (penyajian data), conclusion drawing (penarikan atau verifikasi kesimpulan) (Huberman, 2009: 30). Hasil penelitian menunjukan, kaum yang menduduki jabatan di pemerintahan, tidak selalu menjadi yang mendominasi, melainkan juga dapat menjadi yang didominasi. Selain itu, kepemimpinan intelektual dan morang melalui agama dan pendidikan. Konflik politik, ditunjukan melalui upaya dari masing-masing kandidat calon kepala desa.
Hal menarik yang menjadi temuan dari Febrianto dan Putra (2020) tentang hegemoni kekuasaan adalah kelompok sosial yang memiliki kekuasaan ternyata tidak selalu menjadi yang mendominasi, melainkan menjadi yang didominasi. Dalam tulisan ini ingin menyampaikan pesan bahwa yang berkuasan tidak selalu dominan.
Sumber berkas: https://jurnal.umk.ac.id/index.php/kredo/article/view/4347
Rahmat, S. T. (2016). Agama dan Konflik Sosial. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Missio, 8(1), 132-143.
Setiap agama hadir sebagai institusi pembawa cinta dan damai bagi para penganutnya. Walaupun demikian, agama sering diredusir sebagai penyebab dari pelbagai konflik sosial yang terjadi. Sentimen agama sering digunakan untuk kepentingan kelompok atau pihak-pihak tertentu. Agama kehilangan daya sebagai sumber inspirasi rohani bagi para penganutnya. Oleh karena itu, kita perlu mencari paradigma baru hidup beragama dengan memposisikan agama sesuai dengan visi dan misi funtamentalnya. Semua agama perlu secara terus-menerus menumbuhkan semangat toleransi dalam diri setiap penganutnya, melakukan dialog antaragama yang bersifat konstruktif, serta memperjuangan perdamaian tanpa kekerasan. Dengan demikian, agama dapat tampil sebagai institusi yang mengajarkan kebenaran dan kedamaian yang sejati.
Dalam tulisan Rahmat (2016) tentang agama dan konflik sosial merupakan refleksi mendalam tentang disfungsi agama sebagaimana fungsi yang sebenarnya, dimana agama telah difungsikan dalam memproduksi konflik sosial. Melalui kegelisahan Rahmat ini telah mengingkatkan kita semua untuk beragama dengan dilandasi semangat mengajarkan kebenadaran dan kedamaian yang sejati.
Sumber berkas: http://jurnal.unikastpaulus.ac.id/index.php/jpkm/article/view/99
Sulong, K., & Machali, I. (2016). Dampak Konflik dan Resolusi Konflik Terhadap Sistem Pendidikan Agama Islam di Sekolah Songserm Islam Seksa Patani, Thailand Selatan. Ulul Albab, 17(2), 147.
Penelitian ini memaparkan tentang konflik dan resolusi konflik serta dampaknya terhadap sistem Pendidikan Agama Islam di Sekolah Songserm Islam Seksa Patani (SSIS) Thailand Selatan. Pembahasan difokuskan pada tiga persoalan. Pertama, bagaimana konflik dan resolusi konflik. Kedua, bagaimana dampak konflik terhadap sistem pendidikan agama Islam. Dan ketiga, bagaimana dampak resolusi konflik terhadap sistem pendidikan agama Islam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konflik di Pattani disebabkan beberapa faktor yaitu ketidakadilan, diskriminasi, saling tidak mempercayai, perbedaan kebudayaan, propaganda media, konflik politik dan kepentingan. Dampak konflik terhadap sistem pendidikan di SSIS adalah berkurangnya jam belajar, menurunnya prestasi belajar siswa dan kinerja guru, tidak menentunya sistem pendidikan yang disebabkan berubahnya kebijakan pemerintah dalam resolusi konflik, dan sekolah harus libur secara mendadak ketika terjadi konflik. Sedangkan dampak resolusi konflik terhadap Sistem Pendidikan Agama Islam di SSIS adalah meningkatnya kualitas kinerja guru, tumbuhnya semangat pendidik dalam proses pembelajaran, dan terbentuknya budaya belajar yang efektif dan kondusif di SSIS.
Dalam penelitiannya Sulong dan Machali (2016) menegaskan bahwa terjadi konflik dan resolusi konflik di suatu kelompok sosial akan berdampak pada layanan lembaga pendidikan. Melalui temuan penelitian tersebut, masyarakat diharap hati-hati dalam menjaga keberadaan lembaga pendidikan ketika terjadi konflik sosial.
Sumber berkas: https://garuda.kemdikbud.go.id/documents/detail/693037
Priyono, P. (2008). Pluralisme Agama dan Konflik. Analisa Journal of Social Science and Religion, 15(02), 137-161.
Umumnya masyarakat Indonesia mengaku sebagai bangsa yang religius. Sejarah menunjukkan bahwa Indonesia merupakan bangsa yang kaya akan ras, suku, etnis, budaya, adat istiadat, dan agama. Kekayaan tersebut merupakan anugerah Tuhan agar manusia dapat berorganisasi dan menjaga keharmonisan dirinya agar dapat saling menghormati dan menghargai keberagaman yang dimilikinya. Agama dan kepercayaan seperti Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan lain-lain menganut ideologi yang mendidik manusia untuk berbuat baik. hal-hal (ikhsan) antar umat manusia, antar umat beragama, dan antar umat beragama. Upaya yang diperlukan untuk menjauhkan ketegangan dan konflik dalam kehidupan sehari-hari umat beragama dan antar umat beragama adalah dengan melaksanakan dan menerapkan ajaran masing-masing, menciptakan dialog antar umat beragama baik di tingkat pemimpin maupun di akar rumput secara berkala. Selain itu, untuk menghimpun berbagai pemikiran dan pendapat berbagai kelompok masyarakat yang peduli terhadap peran agama dalam penyelesaian permasalahan sosial saat ini.
Priyono (2008) menawarkan gagasannya untuk mengatasi konlik pada masyarakat memiliki agama majmuk, tidak lain adalah melestarikan keseharian dalam bentuk pluralisme agama.
Sumber berkas: https://www.neliti.com/publications/162926/pluralisme-agama-dan-konflik
Ismail, R. (2020). Resolusi Konflik Keagamaan Integratif: Studi Atas Resolusi Konflik Sosial Keagamaan Ambon. Living Islam: Journal of Islamic Discourses, 3(2), 451-469.
Artikel yang merupakan hasil penelitian lapangan ini bertujuan untuk menganalisis resolusi konflik yang ditempuh dalam menyelesaikan konflik sosial agama Ambon tahun 1999-2002. Ditemukan bahwa penyelesaian konflik Ambon dilakukan dengan cara penyelesaian konflik integratif. Resolusi konflik integratif adalah model resolusi konflik yang mengintegrasikan resolusi struktural dan budaya secara bersamaan. Penyelesaian konflik secara struktural dilakukan untuk menyelesaikan akar konflik non-agama di Ambon, melalui: pendekatan keamanan seperti penambahan 11.250 personel keamanan, peningkatan Korem menjadi Kodam Maluku, dan pemberlakuan darurat sipil; peran Pemerintah dalam Perjanjian Damai Malino II; Berbagi kepemimpinan politik Muslim-Kristen dalam persaingan pemilihan pemimpin pemerintahan daerah; bupati; dan pembagian jabatan birokrasi dengan SKJ. Sedangkan penyelesaian konflik budaya adalah dengan menyelesaikan akar konflik yang bersumber dari persoalan keagamaan, yaitu: revitalisasi multikulturalisme yang dilakukan oleh Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri IAIN dan IAKN Ambon; revitalisasi nilai damai agama melalui ustadz Kristen-Muslim melalui dialog bersama, kerja sama, rekonsiliasi, silaturahmi, dan deradikalisasi; mengoptimalkan peran FKUB dalam dialog kehidupan; dan, revitalisasi pela gandong antara negara Islam dan Kristen. Penyelesaian konflik integratif diakui oleh umat Islam dan Kristen Ambon sangat efektif dalam menyelesaikan akar konflik Ambon, sehingga terbangun landasan perdamaian yang kokoh di Ambon. Pada tahun 2019, Ambon berhasil meraih Penghargaan Kerukunan dari Kementerian Agama RI.
Studi Ismail (2020) tentang potret resolusi konflik di Ambon menemukan bahwa model pendekatan resolusi konflik di Ambon hingga berhasil yaitu dengan pendekatan konflik integratif, yaitu konflik yang didekati dengan pendekatan struktural dan kebudayaan.
Sumber berkas: https://ejournal.uin-suka.ac.id/ushuluddin/li/article/view/32-12
Latifah, N. (2018). Agama, Konflik Sosial dan Kekerasan Politik. Fondatia, 2(2), 154-167.
Munculnya konflik sosial dan kekerasan yang menggunakan agama sebagai pembenaran telah menjadi permasalahan yang menghiasi sejarah kekerasan saat ini. Konflik sosial yang diikuti dengan aksi kekerasan yang menggunakan isu agama di Indonesia, tentunya tidak terjadi begitu saja dan terlepas dari beberapa fenomena sosial politik yang mengikutinya. Menempatkan agama sebagai salah satu varian potensi pemicu konflik sosial bukanlah hal yang mudah. Hal ini dikarenakan agama dianggap sebagai ajaran yang selalu dikaitkan dengan ajaran yang sarat dengan nilai-nilai kedamaian dan keamanan. Munculnya konflik sosial di berbagai daerah seperti, di Ambon, Mataram, Situbondo, Tasikmalaya, Regasdengklok, dan daerah lainnya, sellayang dalam pandangan dapat dilihat sebagai konflik agama, namun jika dikaji lebih dalam tidak lepas dari peran politik. elite, baik di tingkat pusat maupun daerah. Begitu pula dengan kekerasan yang dialami kelompok jemaah Ahmadiyah, tidak terlalu sulit untuk menyatakan bahwa wilayah agama dijadikan sebagai sarana legitimasi dan legitimasi dalam melakukan tindakan kekerasan. Dalam hal ini, agama dijadikan tameng atas perilaku kekerasan, demi kepentingan sekelompok orang atau elite.
Menarik apa yang disampaikan Latifah (2018) yang menganalisis bahwa konflik yang selama ini dipandang varian penyebabnya adalah agama, ternyata tidak demikian. Walaupun Latifah belum begitu tegas mengatakan penyebabnya adalah bukan agama, tetapi latifah dengan berani menyampaikan bahwa terjadinya kekerasan itu sendiri kerap kali berlindung dibalik dari legitimasi agama. Atau dengan kata lain, pelaku dan yang bertanggung jawab atas peristiwa kekerasan cenderung lari yang kemudian melegitimasi agamalah yang penyebabnya.
Sumber berkas: https://ejournal.stitpn.ac.id/index.php/fondatia/article/view/131
Natalia, A. (2017). Faktor-faktor penyebab radikalisme dalam beragama (kajian sosiologi terhadap pluralisme agama di Indonesia). Al-Adyan: Jurnal Studi Lintas Agama, 11(1), 36-56.
Hubungan yang tercipta antara manusia dan agama adalah hubungan totalitas. Pada hakikatnya agama tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Namun, karena agama yang dianut oleh manusia bukan hanya satu, maka tentu saja akan muncul konflik yang menyatakan klaim kebenaran dari masing-masing agama yang dianut setiap orang. Pada tataran doktrin, semua agama mengajarkan kedamaian, persaudaraan, dan keselamatan. Akan tetapi, ketika doktrin tersebut diaktualisasikan oleh para pemeluknya, maka seringkali muncul kesenjangan yang pada akhirnya menyebabkan konflik yang berujung kepada tindakan-tindakan radikalisme. Hal ini disebabkan cara dan tingkat pemahaman yang dimiliki oleh masing-masing pemeluk agama berbeda satu sama lain sehingga muncul corak keberagamaan.
Natalia (2017) dengan berani manyampaikan gagasannya bahwa radikali dalam beragama kerapkali disebabkan karena kesenjangan saat proses aktualsiasi doktrin agama masing-masing.
Sumber berkas: http://www.ejournal.radenintan.ac.id/index.php/alAdyan/article/view/1436
Safi, J. (2017). Konflik Komunal: Maluku 1999-2000. ISTORIA Jurnal Pendidikan dan Ilmu Sejarah, 13(1).
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan konflik Ambon, pergolakan politik di Maluku Utara hingga konflik etnis dan agama 1999-2000. Penelitian ini menggunakan metode sejarah. Penelitian sejarah meliputi lima tahapan yaitu pemilihan topik, heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Konflik yang terjadi sejak tanggal 19 Januari 1999 Maluku merupakan peristiwa berdarah yang bertepatan dengan umat Muslim merayakan Hari Raya Idul Fitri 1419 Hijriah. Konflik bermula dari pertikaian antara sopir angkot, Jacob Lauhery yang beragama Kristen dengan Nursalim, seorang Islam dari Batu Merah keturunan Bugis. Konflik kemudian berkembang menjadi konflik agama (Islam dan Kristen). Di Maluku Utara konflik juga terjadi, pergolakan politik ditingkat lokal, Maluku Utara menimbulkan polarisasi di masyarakat hingga konflik etnis dan agama. Konflik Maluku Utara juga bagian dari perebutan kekuasaan. Faktor lain adalah pembentukan kecamatan baru Makian Malifut berdasarkan PP. No.42/1999 telah mendapat penolakan dari masyarakat Kao karena dianggap bertentangan dengan hukum adat. Peristiwa tersebut menyebar sampai ke Tidore, Ternate, Jailolo dan Bacan. Konflik Maluku Utara menelan korban ribuan jiwa, rumah dan tempat ibadah baik umat Islam maupun Kristen hangus terbakar. Selama berlangsungnya konflik, Pela Gandong di Ambon, Maluku dan adat se atorang di Maluku Kie Raha sebagai sistem adat dan budaya tidak lagi berfungsi sebagai ikatan sosial yang kuat.
Hal menari dari temuan Safi (2017) bahwa bentangan konflik maluki sejak tahun 1999 hingga 2000 terjadi karena sistem adat dan budaya tidak lagi bergungsi sebagai ikatan sosial yang kuat. Safi menyampaikan dengan tegas bahwa hal tersebut terjadi karena pada saat yang sama pemilik dari sistem adat dan budaya dalam keadaan diancam dan terancam. Pada saat itulah, sistem adat dan budaya dalam keadaan buta mata melawan, menabrak, dan membabat habis semuanya.
Sumber berkas: https://journal.uny.ac.id/index.php/istoria/article/view/17615
Umam, K. (2018). Legitimasi Kekuasaan Elit Agama di Kediri. Religi: Jurnal Studi Agama-agama, 13(2), 195-220.
Peranan elite agama (baca: pemuka agama) di Kota Kediri tidak lepas dari pengaruhnya sebagai pengemban ajaran agama. Agama sebagai lembaga yang mengajarkan nilai-nilai menuntut manusia untuk menghadirkannya agar dapat tersampaikan kepada seluruh umat manusia. Peran tokoh agama bersifat dialektis dengan kebutuhan masyarakat. Meski di satu sisi mengajarkan agama yang aturan dan batasannya ketat, namun dalam praktiknya para elite tersebut harus mampu membaca dinamika sosial budaya yang ada di masyarakat, sehingga agama dan masyarakat bisa berjalan beriringan tanpa harus bersusah payah. meniadakan satu sama lain. Di sisi lain, masyarakat bersifat sukarela atau terpaksa mengakui kekuasaan yang dimiliki oleh elite agama, selain untuk memenuhi kebutuhan spiritual yang hanya bisa diperoleh dari elite, juga sebagai upaya menjaga nilai-nilai yang disepakati masyarakat.
Studi Umam (2018) melaporkan bahwa dalam masyarakat terdapat elit yang berperan melegitimasi kekuasaan yang ada. Umam menemukan dalam studinya bahwa elit yang berperan dalam melegitimasi kekuasaan adalah elit agama.
Sumber berkas: https://ejournal.uin-suka.ac.id/ushuluddin/Religi/article/view/1302-04/1280
Alganih, I. (2016). Konflik Poso (Kajian Historis Tahun 1998-2001). Criksetra: Jurnal Pendidikan Sejarah, 5(2).
Penelitian ini berangkat dari permasalahan utama yang menjadi keresahan peneliti, yaitu mengapa terjadi konflik berkepanjangan antara penduduk agama Islam dengan Kristen di Poso? Permasalahan tersebut dikembangkan menjadi empat pertanyaan rumusan masalah yaitu (1) Apa yang menjadi penyebab akar masalah terjadinya konflik di Poso? (2) Bagaimana dinamika terjadinya konflik di Poso tahun 1998-2001? (3) Bagaimana peranan pemerintah dan tokoh masyarakat dalam penyelesaian konflik di Poso? (4) Bagaimana dampak konflik terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat Poso? Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode historis. Konflik Poso terjadi bersamaan dengan jatuhnya pemerintahan Presiden Soeharto di tahun 1998 yang menyebabkan terjadinya perubahan pola pemerintahan dari sentralisasi menjadi desentralisasi kekuasaan. Konflik Poso ini berdampak sangat merugikan ditatanan bidang, politik, ekonomi dan sosial budaya serta meninggalkan beban trauma psikologis terutama pada anak-anak dan perempuan yang mengalami trauma kekerasaan atau pelecehan ketika kerusuhan terjadi. Konflik yang terjadi di Poso mengingatkan bahwa semboyan Bhinneka Tunggal Ika, sesungguhnya masih suatu cita-cita yang harus diperjuangkan untuk menjaga persatuan nasional.
Menurut Alganih (2016) terjadi konflik yang berkepanjangan cenderung berelasi dengan politik, ekonomi dan sosial budaya. serta meninggalkan trauma yang mendalam.
Sumber: https://ejournal.unsri.ac.id/index.php/criksetra/article/view/4814
Muhammad, I. (2023). Agama Sebagai Agensi Penyeimbang Kekuasaan (Studi Terhadap Peran Lembaga Agama Dalam Konflik Agraria Di Wadas, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah) (Doctoral Dissertation, Uin Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Kekuasaan asimetris menimbulkan dampak perbedaan secara interpretatif terhadap pengelolaan sumber daya alam di Desa Wadas dengan hadirnya kebijakan dari negara dan pasar terkait Proyek Strategis Nasional Bendungan Bener dan pengadaan tambang terbuka batu andesit (quarry) untuk bahan material bendungan. Masyarakat merasa bahwa tanah di mana tempat mereka tinggal dan melangsungkan hidup telah tereksploitasi oleh kebijakan yang diberikan negara dan pasar kepada masyarakat. Sejak awal kemunculan dari kebijakan tersebut, terjadi resistensi masyarakat dalam mempertahankan tanah mereka dengan melalui berbagai cara, mulai dari penggunaan people power, melibatkan berbagai lembaga swadaya masyarakat, sampai dengan melibatkan lembaga agama dalam upaya resistensi masyarakat terhadap kebijakan negara dan pasar. Lembaga agama yang dilibatkan oleh masyarakat ialah organisasi masyarakat Islam Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, kedua lembaga agama tersebut hadir untuk mengagensi masyarakat agar dapat berhadapan secara langsung dengan pihak negara dan pasar. Terdapat tiga hal yang dibahas dalam penelitian ini. Pertama, bagaimana peran Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah pada konflik agraria di Desa Wadas yang bermula sebagai agen moral menjadi agen politik? Kedua, mengapa kedua lembaga agama tersebut dilibatkan dalam konflik?> Ketiga, bagaimana strategi resolusi konflik yang dirancang oleh Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah sebagai agensi penyeimbang kekuasaan pada konflik agraria di Desa Wadas? Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif untuk memahami konflik agraria dan sosial keagamaan yang terjadi pada Desa Wadas dengan pengumpulan data menggunakan teknik wawancara, observasi, dan dokumentasi. Pendekatan yang digunakan ialah pendekatan studi agama dan konflik sosio-politik yang bersifat deskriptif-analitis. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan teori strukturasi dari Anthony Giddens. Hasil dari penelitian ini mendiskusikan tiga hal. Pertama, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah mengayomi dan mengawal masyarakat dalam memperjuangkan tanahnya. Kedua, sebab, masyarakat menganggap bahwa dengan penggunaan people power dan pelibatan dari berbagai lembaga swadaya masyarakat tidak cukup mampu untuk bersinergi dengan kebijakan negara dan pasar. Ketiga, langkah atau strategi yang dicanangkan oleh Nahdlatul Ulama ialah dengan menggunakan pendekatan negosiasi atau musyawarah dengan negara dan pasar secara langsung. Sementara, Muhammadiyah mengawal langsung masyarakat yang kontra terhadap penambangan dengan pendekatan sosio-etis.
Menurut Muhammad (2023) ketika di dalam masyarakat terdapat konflik yang melibatkan masyarakat, maka penyeimbangan kekuasaan yang dapat bekerja adalah kelompok sosial yang berlandaskan dengan nilai-nilai keagamaan.
Sumber berkas: https://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/59169/
Menurut Humaedi (2014) munculnya interaksi sempit dan ketiadaan ruang perjumpaan sosial berakibat tersulutnya konflik antar etnis yang kemudian diistilahkan kegagalan akulturasi budaya.
Sumber berkas: https://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/59169/
Hamdi, S. (2011). Politik Islah: Re-Negosiasi Islah, Konflik, dan Kekuasaan dalam Nahdlatul Wathan di Lombok Timur. Jurnal Kawistara, 1(1).
Artikel ini bertujuan untuk menguji bagaimana islah atau rekonsiliasi dapat tercapai di kalanganelit-elit Nahdlatul Wathan. Konflik NW 1998 merupakan salah satu konflik yang berkepanjangn karenaproses negosiasi islah selalu kandas di tengah jalan. Kedua kubu belum menemukan titik temu atauformat yang tepat mengenai proposal islah NW. Melalui proses negosiasi yang panjang akhirnya padabulan Mei 2010 kedua kubu NW mencapai kesepakatan untuk islah. Secara khusus artikel ini bertujuanuntuk mengeksplorasi bagaimana latar belakang dan motivasi terjadinya islah antara kedua kubu?Bagaimana upaya-upaya islah yang dilakukan selama konflik berlangsung? Selain itu artikel ini jugabertujuan untuk memahami format islah yang telah disepakati dan bagaimana mereka mempertahankanislah tersebut? Artikel ini merupakan hasil penelitian selama dua tahun (2008-2010) di Lombok TimurNusa Tenggara Barat. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah etnografi dengan meng-gunakan metode kualitatif untuk pengambilan dan analisa data. Sedangkan teknik pengambilan datadilakukan melalui observasi-partisipasi, wawancara mendalam, dan fokus diskusi kelompok.
Sumber berkas: https://journal.ugm.ac.id/kawistara/article/view/3902
Hamdi, S. (2011). Politik, Agama dan Kontestasi Kekuasaan Nahdlatul Wathan di Era Otonomi Daerah Lombok NTB. Jurnal Review Politik, 1(2), 130-47.
Artikel ini mengupas perubahan orientasi politik di Nahdlatul yang rawan konflik Organisasi Wathan sejak dimulainya desentralisasi dan otonomi daerah. Daerah otonomi telah melahirkan perubahan tidak hanya pada tingkat struktural, tetapi juga pada tingkat budaya, dan akibatnya adalah menuntut peran yang lebih nyata dari para pemimpin agama dan adat setempat dalam hal ini proses demokratisasi dan pembangunan di kawasan. Artikel ini membahas peran Tokoh Nahdlatul Wathan dalam politik lokal dan nasional sejak otonomi daerah dilaksanakan. Dengan melihat bagaimana mereka berhasil merebut posisi strategis di daerah Pada pemilu pemerintah tahun 2008, artikel ini menanyakan faktor-faktor apa yang menyebabkan keberhasilan mereka dan apa saja faktornya media digunakan. Rapuhnya politik internal Nahdlatul Wathan dikaji untuk dinilai bagaimana pengaruh kekuasaan dapat menyelesaikan konflik internal dan eksternal yang dihadapi saat ini organisasi. Data didasarkan pada kerja lapangan dengan menggunakan pendekatan kualitatif diantaranya wawancara, diskusi kelompok terfokus dan observasi partisipan yang dilakukan di Lombok selama 2008-2010.
Menurut Hamdi (2011) Kontestasi Nahdlatul Wathan di Era Otonomi Cenderung Dinamis. Kontestasi Berlangsung Berdasarkan Kekuasaan yang Sedang Dipuncak.
Sumber berkas: https://www.academia.edu/33250233/POLITIK_AGAMA_DAN_KONTESTASI_KEKUASAAN_NAHDLATUL_WATHAN_DI_ERA_OTONOMI_DAERAH_LOMBOK_NTB
Sifatu, W. O. (2014). Perubahan, Kebudayaan, dan Agama: Perspektif Antropologi Kekuasaan. Denpasar: Program Pascasarjana Universitas Udayana.
Perubahan, kebudayaan, dan agama, merupakan tema yang menarik untuk dikaji secara antropologis mengingat masyarakat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan masyarakat majemuk dalam segala aspek kehidupan. Bagaimana perubahan, kebudayaan, dan agama menjadi sumber konflik dalam kehidupan berasyarakat di Indonesia. Tulisan ini menelusuri kedudukan perubahan, kekuasaan, dan agama melalui penelusuran kepustakaan untuk memahami nilai analitis yang bersifat heuristik dalam konteks antropologi kekuasaan. Sejak keberadaan manusia di muka bumi, manusia selalu bertanya tentang asal-usul keberadaannya, kehidupannya, dan keberadaannya nanti setelah kematian. Manusia berupaya menjawab pertanyaan tersebut melalui berbagai cara di antaranya melalui agama dan ilmu pengetahuan. Namun agama menyediakan surga dan neraka, serta ilmu pengetahuan melahirkan berbagai kemudahan dan efek samping yang menimbulkan kerugian bagi manusia sehingga manusia selalu diselimuti oleh perasaan takut. Dalam kondisi seperti itu, banyak pihak yang karena kekuasaannya mengklaim kelompoknya sebagai ahli surga sedangkan kelompok lain adalah ahli neraka.
Menurut Sifatu (2004) manusia berupaya menjawab pertanyaan tersebut melalui berbagai cara di antaranya melalui agama dan ilmu pengetahuan. Namun agama menyediakan surga dan neraka, serta ilmu pengetahuan melahirkan berbagai kemudahan dan efek samping yang menimbulkan kerugian bagi manusia sehingga manusia selalu diselimuti oleh perasaan takut.
Sumber berkas: https://download.garuda.kemdikbud.go.id/article.php?article=1330872&val=903&title=PERUBAHAN%20KEBUDAYAAN%20DAN%20AGAMA%20PERSPEKTIF%20ANTROPOLOGI%20KEKUASAAN
Yunus, F. M. (2014). Konflik Agama di Indonesia Problem dan Solusi Pemecahannya. Substantia: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, 16(2), 217-228.
Cara pandang terhadap agama dengan menempatkan agama sebagai sumber konflik, telah menimbulkan berbagai upaya menafsirkan kembali ajaran agama dan kemudian dicarikan titik temu pada level tertentu, dengan harapan konflik di antara umat beragama akan redam jika antar pemeluk agama saling toleran. Pada level eksoteris (syariat) agama memang berbeda, tetapi pada level esoteris (budaya) semuanya sama saja. Semua agama kemudian dipandang sebagai jalan yang sama-sama sah untuk menuju kepada Tuhan. Namun, dalam banyak hal, realitas menunjukkan bahwa ketegangan yang terjadi di antara umat beragama justru berkaitan erat dengan faktor-faktor yang berada di luar lingkup agama itu sendiri. Ini merupakan problem penting bagi semua pemeluk umat beragama untuk mejaga kedamaian dalam beragama.
Menurut Yusuf (2014) agama yang dipandang sumber konflik harus segera dihentikan karena berdampak buru dalam kehidupan. Yusuf menyarankan sikap toleran agar tercipta kedamaian dalam kehidupan beragama.
Sumber berkas: https://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/substantia/article/view/4930/3255
Harahap, S. (2018). Konflik Etnis dan Agama di Indonesia. Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama (JISA), 1(2), 1-19.
Artikel ini berusaha menguraikan bagaimana konflik etnis dan agama di indonesa kontemporer. Dibeberapa wilayah di Indonesia konflik bernuansa etnis dan agama muncul sebagai respon atas dinamika politik, sosial dan ekonomi yang turut serta mengitari kehidupan sosial masyarakat. belajar adalah manusia yang tidak jatuh pada lubang yang sama. Konflik yang terjadi yang berwujud wilayah rusuh di Indonesia merupakan akumulasi dari kerapuhan persatuan dan kesatuan warga masyarakat heterogen dalam satuan-satuan wilayah kebudayaan dengan kepentingan konspirasi kelompok-kelompok tertentu di dalam negeri serta pihak asing. Kepentingan itu dilaterbelakangi tujuan politik, ekonomi dan agama. Upaya itu tidak mencapai sasaran puncak karena ditingkat elit dan pelaksana pihak keamanan dan birokrasi mayoritas masih komit dengan negara kesatuan sehingga serius memperkecil zona konflik dan kefatalan pelbagai dampaknya. Masyarakat dari berbagai suku dan agama juga tidak memiliki basik yang kuat memasuki kancah konflik bahkan sebaliknya dari semula sudah terbiasa hidup rukun dan damai dalam pelbagai perbedaan. Namun begitu karena masyarakat telah semakin berpendidikan dan cerdas, ditambah dengan nuansa reformasi secara mencuatnya konsep HAM, mereka menginginkan agar pelbagai pihak yang terkait dengan pembangunan.
Menurut Harahap (2018) bangsa Indonesia memiliki antibodi dalam meredam hingga meniup perilaku rusuh. Harahap menegaskan bahwa akumulasi dari kerapuhan persatuan dan kesatuan warga masyarakat heterogen dalam satuan-satuan wilayah kebudayaan dengan kepentingan konspirasi kelompok-kelompok tertentu di dalam negeri serta pihak asing. Namun karena memiliki antibodi, Indonesia dalam bentuk komitmen kuat menjaga persatuan dan kesatuan.
Sumber berkas: https://jurnal.uinsu.ac.id/index.php/JISA/article/view/5096
Rosyid, M. (2017). Peredam Konflik Agama: Studi Analisis Penyelesaian di Tolikara Papua 2015. Afkaruna: Indonesian Interdisciplinary Journal of Islamic Studies, 13(1), 48-81.
Mudahnya tersulut konflik antar-umat beragama sebagai penanda bahwa toleransi menghadapi dinamika. Hal ini sebagaimana terjadinya kerusuhan yang berakibat terbakarnya kios yang terbuat dari papan dan merembet pada Masjid Al-Muttaqin di Distrik Karubaga, Kabupaten Tolikara, Papua Jumat 1 Syawal 1436 H/17 Juli 2015. Kala itu umat Islam melaksanakan salat Idul Fitri merupakan tindakan intoleran dan kriminal. Pemicu terjadinya kerusuhan akibat (1) semi-nar Kebaktian Kebangkitan Ruhani (KKR) oleh Gereja Injili di Indonesia (GIDI) Papua yang mengundang ribuan tamu termasuk dari mancanegara bersamaan pada Hari Raya Idul Fitri. GIDI membuat surat edaran yang memuat pelarangan salat Id, (2) penyelenggara KKR merasa terganggu karena muslim yang beribadah di ruang terbuka menggunakan pengeras suara sejak subuh hingga pagi, (3) aparat keamanan dianggap tidak sigap dalam mengantisipasi bila terjadi konflik. Upaya yang harus diwujudkan agar hal serupa tidak terjadi lagi di negeri ini adalah melakukan deteksi dini bila embrio adanya konflik dengan melibatkan semua unsur masyarakat bersama pemerintah. Tindakan preventif harus diawali dengan menyelesaikan pemicu konflik di Tolikara yakni temuan Tim Pencari Fakta Komite Umat (Islam) untuk Tolikara (Komat); pelaku berikut ini harus ditindak yakni tindak kriminal (selain yang divonis hakim), pihak yang menerbitkan surat edaran (kontroversial); peran FKUB perlu dievaluasi agar menjadi balance; perda pelarangan pembangunan tempat ibadah bagi non-Kristen dan diperbolehkan hanya Kristen yang tergabung dalam GIDI perlu dievaluasi.
Menurut Rosyid (2017) peredam konflik agama adalah dengan melakukan deteksi dini bila embrio adanya konflik dengan melibatkan semua unsur masyarakat bersama pemerintah.
Sumber berkas: https://journal.umy.ac.id/index.php/afkaruna/article/view/4203
Rahawarin, Y. (2013). Kerjasama Antar Umat Beragama: Studi Rekonsiliasi Konflik Agama di Maluku dan Tual. Kalam, 7(1), 95-120.
Di penghujung pemerintahan Orde Baru, Indonesia dihadapkan pada berbagai konflik mulai dari konflik antar etnis Madura dan Dayak di Sampit dan Sambas (Kalimantan), konflik antar umat Islam dan Kristen di Poso (Sulawesi), dan berlanjut pada konflik agama di Ambon Maluku pada tahun 1999. Tulisan ini menganalisis model atau bentuk kerjasama antar umat beragama di Maluku dan Tual pasca terjadinya konflik 1999. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendekatan represif atau keamanan dalam usaha meminimalisasi konflik agama dan mendamaikan kedua kelompok yang bertikai di wilayah tersebut tersebut sama sekali tidak tepat Hal ini dikarenakan konflik yang terjadi di Maluku dan Tual memiliki dimensi konflik yang sangat kompleks, sehingga upaya resolusi konflik tidak bisa hanya terbatas pada upaya-upaya penghentian kekerasan dan peleraian semata, namun juga membutuhkan rekonstruksi sosial dan penguatan identitas lokal yang ada di kedua wilayah tersebut.
Menurut Rahawarin (2013) pendekatan represif atau keamanan dalam usaha meminimalisasi konflik agama dan mendamaikan kedua kelompok yang bertikai di wilayah tersebut tersebut sama sekali tidak tepat. Rahawarin menawarkan ketika terjadi konflik maka yag perlu dilakukan adalah pengentian kekerasan, peleraian, rekonstruksi sosial dan penguatan identitas lokal.
Sumber berkas: http://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/KALAM/article/view/451
Syamsuddin, A. (2020). Konflik Sosial Dalam Perspektif Sosiologi Agama. Al-Din: Jurnal Dakwah dan Sosial Keagamaan, 6(1).
Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan tentang faktor penyebab terjadinya konflik sosial, cara dan upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya konfik sosial, strategi-strategi dalam manajemen konflik sosial, faktor-faktor yang harus dihindari agar tidak terjadi konflik sosial agama serta langkah-langkah dalam meminimalkan konflik sosial agama. Metode dan analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif bersifat induktif. Analiasis data kualitatif bersifat induktif adalah suatu analisis berdasarkan data yang diperoleh, selanjutnya dikembangkan menjadi jawaban terhadap permasalahan dalam penelitian ini, dan dicari data secara berulang-ulang sehingga data yang terkumpul dapat diketahui diterima atau ditolak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sumber utama konfik adalah faktor agama dan politik identitas agama. Agar hal ini tidak terjadi, maka harus ada transformasi pemikiran, pemahaman dan sikap inklusif, pluralis, dan demokratis. Oleh karena itu, jika terjadi konflik sosial, maka dibutuhkan strategi dalam memanage konflik sosial secara produktif dan efektif, dan berusaha meminimalkan konflik sosial agama dengan selalu menonjolkan persamaan dalam beragama, dialog keagamaan, melakukan kegiatan sosial yang melibatkan pemeluk agama dan menghindari sikap egoism dalam beragama.
Menurit Syamsudin (2020) dalam perspektif sosiologi agama, sumber utama konflik adalah faktor agama dan politik identitas agama. Syamsudin mengusul dalam kehidupan sehari-hari pelru adanya kegiaan sosial yang melibatkan pemeluk agama yang ada.
Sumber berkas: https://mail.jurnal.iain-bone.ac.id/index.php/aldin/article/view/865
Raharjo, S. N. I. (2015). Peran Identitas Agama Dalam Konflik di Rakhine Myanmar Tahun 2012–2013. Jurnal Kajian Wilayah, 6(1), 35-59.
Pada tahun 2012–2013, terjadi konflik komunal di Rakhine, Myanmar. Identitas agama antara minoritas Muslim dan Mayoritas Budha pun dimanfaatkan untuk melakukan kekerasan. Tulisan ini mencoba menganalisis apakah perbedaan identitas agama tersebut benar-benar berperan sebagai faktor struktural/akar penyebab konflik Rakhine. Melalui studi pustaka, hasil kajian menunjukkan bahwa isu identitas agama telah dimainkan secara sengaja oleh aktor-aktor sekuritisasi untuk memobilisasi massa dan mengakselerasi konflik, dalam rangka mengejar kepentingan riil mereka akan dominasi kekuasaan serta kepemilikan lahan dan kesempatan bisnis. Selain itu, kajian ini juga mengidentifikasi kebijakan diskriminatif yang berkepanjangan dan tingkat ekonomi yang rendah sebagai faktor struktural penyebab konflik. Untuk mengoptimalkan proses resolusi konflik, kajian ini menyarankan para pemangku kepentingan agar memberdayakan kelompok biksu moderat dalam mempromosikan dialog antaragama, melibatkan pihak ketiga yang imparsial sebagai mediator serta menghapus semua kebijakan diskriminatif.
Menurut Raharjo (2015) identitas agama dimainkan para aktor menjadi akar konflik dalam rangka memobilisasi masa untuk kepentingan aktor-aktor tersebut.
Sumber berkas: https://jkw.psdr.lipi.go.id/index.php/jkw/article/view/68
Hyangsewu, P., Adzimat, Q. M., Agista, S. B., & Lestari, W. (2022). Teologi Inklusif sebagai Resolusi Konflik Agama di Era Digital. Zawiyah: Jurnal Pemikiran Islam, 8(1), 39-50.
Agama sebagai sebuah hal sakral dalam kehidupan seringkali dianggap memiliki dua sisi, yaitu sebagai pedoman hidup seseorang dan sebagai senjata untuk berkonflik dengan umat yang memiliki kepercayaan agama berbeda. Sejumlah konflik antar umat beragama bukanlah sebuah polemik baru, bahkan saat ini sudah merambah ke lingkup media sosial. Konflik antar umat beragama yang sering disertai dengan aksi kekerasan membuat agama seringkali identik dengan perilaku sangar, garang dan beringas, padahal, seluruh agama mengajarkan kebaikan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah menggunakan wawancara dan dokumentasi sejumlah artikel ilmiah. Hasil dari penelitian ini adalah teridentifikasinya penyebab konflik agama, yaitu (1) politisasi dan kepentingan budaya; (2) egoisme dan eksklusivisme beragama. Berangkat dari permasalahan tersebut, peneliti menawarkan sebuah model Teologi Inklusif sebagai resolusi terhadap konflik agama dengan aspek yang menyertainya berupa (1) moderasi beragama; (2) pluralisme; (3) inklusivisme beragama.
Menurut Hyangsewu dkk (2022) bahwa moderasi beragama, pluralisme, dan inklusivisme beragama dapat berfungsi menjadi resolusi konflik agama
Sumber berkas: https://ejournal.iainkendari.ac.id/index.php/zawiyah/article/view/3558
Isnaini, A. (2014). Kekerasan atas Nama Agama. Kalam, 8(2), 213-228.
Agama merupakan tuntunan bagi kehidupan manusia di dunia. Tuntunan ini memuat aturan, tata cara pengabdian dan tata laku pergaulan antar sesama. Tata laku pergaulan di dalam kehidupan mendatangkan kebaikan manakala benar-benar berdasar nilai-nilai agama. Agama tidak pernah mengajarkan dan menuntun pemeluknya untuk merugikan diri sendiri, orang lain, atau pun makhluk Tuhan lainnya. Perilaku buruk apapun yang mengatasnamakan perintah agama, sebenarnya perlu dikaji ulang. Sehingga agama tidak selalu dijadikan dalih dan alasan untuk menjadikan pihak lain menderita. Kekerasan dalam perilaku dan tindakan mencerminkan keyakinan dan watak pelakunya. Hal ini muncul didasarkan pemahaman atas doktrin dan keyakinan dalam diri. Upaya memberangus pihak lain atas alasan kesalahan dan kemaksiatan, bukan cara yang mesti dilalui. Kesalahan dan kemaksiatan mestinya didekati melalui cara hikmah dan toleransi. Perbedaan cara pandang terhadap sesuatu tidak boleh menjadi dasar perilaku kekerasan.
Menurut Isnaini (2014) perbedaan cara pandang terhadap sesuatu tidak boleh menjadi dasar perilaku kekerasan.
Sumber berkas: http://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/KALAM/article/view/221/159
Komentar
Posting Komentar