Gus Dur dan Perspektif Budaya, Agama, serta Ekonomi di Indonesia


Sebuah Cerita di Madra: Pelajaran dari Republik Pisang

Dalam sebuah anekdot yang menggelitik, kita diajak memahami kompleksitas kebencian masyarakat terhadap penguasa. Cerita ini berasal dari sebuah republik kecil di Amerika Tengah, yang sering disebut sebagai "Republik Pisang." Suatu hari, Presiden Gonzalez, saat menunggang kuda melintasi sebuah jembatan, terjatuh ke sungai dan hanyut. Ia diselamatkan oleh seorang petani miskin, yang setelah dimintai imbalan, hanya meminta satu hal sederhana: "Jangan bilang-bilang saya yang menolong." Mengapa? Karena masyarakat begitu membenci Presiden hingga sang penyelamat khawatir akan keselamatannya jika identitasnya diketahui. Cerita ini mencerminkan fenomena ketidakpercayaan dan kebencian yang begitu dalam dalam masyarakat, sebuah cerminan relevan bagi dinamika sosial-politik di banyak negara.

Gus Dur: Tokoh dengan Perspektif Melampaui Zaman

Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah sosok yang penuh dinamika. Pemikirannya sering kali dianggap kontroversial, namun di balik itu terdapat visi yang mendalam dan logis. Sebagai budayawan, ia mengedepankan logika daripada rasa, sehingga banyak gagasannya belum sepenuhnya diterima pada masanya. Salah satu peran pentingnya adalah menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta (1984-1985) dan Ketua Dewan Juri Festival Film Indonesia di Bandung (1985).

Relativisasi Nilai dan Dinamika Sosial-Budaya

Gus Dur menjelaskan konsep relativisasi nilai, sebuah proses di mana nilai-nilai sosial menjadi relatif dan fleksibel. Ia berharap bahwa melalui proses ini, nilai-nilai esensial tetap dapat dipertahankan, sementara etos keilmuan dan teknologi berkembang. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa relativisasi nilai tidak hanya melemahkan nilai tertentu, tetapi juga menyebabkan pengikisan nilai secara keseluruhan.

Dampak Relativisasi Nilai:

  1. Erosi Etika dan Moralitas: Kecenderungan untuk mengambil jalan pintas sering kali mengorbankan etika. Hedonisme dan sifat materialistik semakin menguat.

  2. Kehilangan Ikatan Sosial: Hubungan antar tetangga yang dulunya erat kini digantikan oleh hubungan profesional di tempat kerja. Ini menciptakan jarak sosial yang semakin lebar.

  3. Dominasi Koneksi atas Prestasi: Dalam masyarakat, prestasi objektif sering kali tergantikan oleh koneksi dan relasi. Hal ini mengancam etos ilmiah dan keadilan sosial.

Peran Agama dalam Ekonomi dan Kehidupan Sosial

Menurut Gus Dur, agama memiliki peran penting dalam menciptakan keseimbangan sosial dan ekonomi. Ia menekankan pentingnya integrasi agama ke dalam kehidupan bangsa, baik melalui norma, etika, maupun manifestasi lainnya. Beberapa gagasannya terkait peran agama adalah:

  1. Strategi Ekonomi Berbasis Agama:

    • Mengembangkan 2.000 Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dalam 20 tahun.

    • Setiap BPR diharapkan mencetak 100 pengusaha kecil dan menengah.

    • Hasil akhirnya adalah menciptakan 200.000 pengusaha tangguh dari kalangan Nahdlatul Ulama, yang memperkuat ekonomi domestik dan integrasi ekonomi antara pengusaha kecil dan konglomerat.

  2. Konsep Bunga dalam Islam: Gus Dur menjelaskan bahwa bunga bank dalam konteks tertentu tidak dianggap sebagai riba, tetapi sebagai bagi hasil. Dalam konteks pinjaman usaha, keuntungan yang dihasilkan dari pengelolaan dana dianggap sah dalam hukum Islam, asalkan terdapat pembagian hasil yang adil.

  3. Etika dan Norma dalam Kehidupan Bermasyarakat: Agama harus mampu mengembangkan kerangka etika yang diperlukan untuk menjaga akar historis bangsa sekaligus menyelesaikan masalah secara rasional. Norma-norma agama dapat dikembangkan menjadi etika bisnis yang jujur, etika berpikir yang tuntas, dan etika ilmiah yang bebas dari pemalsuan data.

Hubungan Agama, Budaya, dan Pembangunan Bangsa

Gus Dur menegaskan pentingnya hubungan saling mengisi antara agama dan budaya. Budaya dapat membantu agama mengatasi kekakuan norma-norma yang terlalu rigid, sementara agama dapat menyumbangkan kerangka etis dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk ekonomi dan ilmu pengetahuan.

Dalam pergeseran dari masyarakat agraris ke masyarakat industri, perubahan orientasi kehidupan bangsa membutuhkan dukungan kedua bidang ini. Dengan cara ini, integrasi nasional dapat berjalan lebih mulus, dan agama tidak hanya menjadi kekuatan politik, tetapi juga penyokong etika yang membawa bangsa menuju masa depan yang lebih baik.

Gus Dur: Pemikir, Pemimpin, dan Penggerak Universalitas

Gus Dur, atau Abdurrahman Wahid, bukan hanya seorang pemimpin dan tokoh agama. Ia adalah penggemar seni, seorang intelektual, dan komunikator yang brilian. Musik menjadi salah satu sisi menarik dari kehidupannya. Dari simfoni Beethoven hingga lagu-lagu Umi Kalsum dan bahkan karya Michael Jackson, preferensi musik Gus Dur menunjukkan kepekaannya terhadap seni yang melintasi batas budaya. Baginya, musik adalah sarana yang mampu memperhalus jiwa, menajamkan intuisi, dan membawa manusia menuju ketinggian spiritual.

Perjalanan Pendidikan dan Pengalaman Hidup

Gus Dur lahir di Denanyar, Jombang, pada 1940 dan menempuh pendidikan di berbagai institusi terkemuka. Setelah menyelesaikan sekolah menengah di Yogyakarta, ia belajar di Pesantren Tambak Beras, Jombang. Kemudian ia melanjutkan pendidikan di Universitas Al-Azhar di Kairo dan Fakultas Sastra Universitas Baghdad di Irak. Meski mengalami tantangan di Al-Azhar, pengalamannya di Baghdad menjadi batu loncatan untuk memperluas wawasan dan pemikirannya.

Sebagai anak sulung dari KH. Wahid Hasyim, mantan Menteri Agama Indonesia, Gus Dur menunjukkan kemampuan dialog dan komunikasi yang luar biasa. Ia sering menjadi mitra dialog di berbagai departemen, seperti Departemen Koperasi, dan membangun jembatan antara nilai-nilai tradisional dan pandangan universal.

Universalitas NU dan Dialog Antarbudaya

Gus Dur percaya pada universalitas nilai-nilai Nahdlatul Ulama (NU). Menurutnya, ajaran kitab kuning yang diajarkan di pesantren memiliki kerangka pikir yang bersifat universal. Ia berupaya mengintegrasikan nilai-nilai ini dengan pandangan hidup kelompok lain di masyarakat. Pendekatannya tidak hanya mempertemukan perbedaan, tetapi juga menciptakan proses saling mendukung.

Sebagai seorang tokoh yang kontroversial, Gus Dur sering mengungkapkan pendapatnya dengan jujur, tanpa menyembunyikan fakta. Hal ini terkadang menimbulkan reaksi yang beragam, namun juga menunjukkan keberaniannya dalam membangun dialog yang jujur dan terbuka.

Pandangan tentang Budaya dan Agama

Salah satu pemikiran Gus Dur yang menonjol adalah sikap lenturnya terhadap budaya dan agama. Ia percaya bahwa norma agama memiliki nilai yang tetap, namun adat dan budaya dapat diintegrasikan ke dalam kehidupan bangsa. Sebagai contoh, ia menjelaskan bagaimana kata “Minggu,” yang berasal dari istilah Kristen “Domingo,” tetap dapat digunakan oleh umat Muslim tanpa menghilangkan nilai keagamaannya.

Baginya, integrasi antara agama dan budaya adalah kunci untuk menciptakan harmoni dalam kehidupan berbangsa. Gus Dur tidak hanya membangun toleransi, tetapi juga mengajarkan pentingnya memahami akar budaya sebagai bagian dari identitas nasional.

Humor, Keluarga, dan Kehidupan Pribadi

Dikenal dengan sifat humorisnya, Gus Dur sering menggunakan cerita dan anekdot untuk menyampaikan pesan. Humor tidak hanya membuatnya dekat dengan masyarakat, tetapi juga menjadi cara untuk menghidupkan suasana dan menjembatani perbedaan.

Kisah cintanya dengan Ny. Sinta Nuriyah berawal dari Pesantren Tambak Beras. Meskipun perjalanan cinta mereka diwarnai jarak geografis, hubungan mereka tetap erat dan penuh cinta. Mereka membangun rumah tangga yang harmonis, bahkan menyelesaikan konflik melalui surat-surat yang saling menenangkan.

Sebagai seorang ayah, Gus Dur tidak memaksakan kehendak pada anak-anaknya. Ia ingin mereka tumbuh menjadi individu yang mampu berdiri di atas kaki sendiri, berguna bagi agama, bangsa, dan negara.

Konsep Maslahah dan Kemaslahatan Umum

Pemikiran Gus Dur juga sangat dipengaruhi oleh konsep maslahah dalam kitab kuning. Ia menekankan pentingnya menyejahterakan masyarakat dengan mengejar hal-hal yang membawa manfaat dan menghindari hal-hal yang merusak (mafsadah). Konsep ini menjadi pedoman hidup Gus Dur dalam setiap langkahnya, baik sebagai pemimpin maupun individu.

Warisan Pemikiran Gus Dur

Gus Dur adalah prototipe intelektual Muslim yang mampu menjembatani tradisi dan modernitas. Ia menantang masyarakat untuk berpikir kritis, terbuka, dan logis. Pemikiran-pemikirannya yang tidak konvensional sering kali menginspirasi dan melatih generasi muda untuk melihat dunia dengan sudut pandang yang berbeda.

Bagi banyak orang, Gus Dur bukan hanya seorang tokoh agama atau politisi. Ia adalah simbol perdamaian, toleransi, dan cinta universal yang akan terus dikenang sebagai inspirasi bagi bangsa Indonesia.

Sumber: Video Mahal GUSDUR tahun 1990 - YouTube

Komentar

Postingan Populer